TEMPO.CO, Jakarta - Israel akan menutup kantor media Al Jazeera di negara tersebut. Tak hanya itu, Israel juga akan mencabut izin para wartawannya.
Menteri Komunikasi Israel Ayoub Kara menuduh Al Jazeera mendukung terorisme, dan menyebutkan bahwa saluran bahasa Arab dan bahasa Inggrisnya akan diblokir. Sedangkan, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh jaringan televisi Qatar itu 'menghasut' dan menyulut krisis di kawasan Israel.
Pemerintah Israel mengatakan keputusan itu atas larangan serupa yang diberlakukan Arab Saudi dan sejumlah negara Arab Sunni lain setelah terjadi sengketa diplomatik mereka dengan Qatar, yang merupakan pendana Al Jazeera.
Ayoub Kara mengatakan, bahwa perusahaan-perusahaan penyedia layanan TV kabel telah sepakat untuk mencabut jaringan Al Jazeera dari udara, namun upaya untuk menutup biro kantor berita tersebut di Yerusalem akan memerlukan ketentuan hukum lebih lanjut.
"Al Jazeera telah menjadi alat utama ISIS, Hamas, Hizbullah dan Iran," kata Ayoub Kara dalam sebuah konferensi pers, Senin, 7 Agustus 2017.
Baca: Krisis Qatar Berlanjut, Al Jazeera Alami Peretasan Besar-Besaran
Netanyahu pun memuji Ayoub Kara melalui cuitannya, "yang melaksanakan instruksi saya untuk mengambil langkah nyata untuk mengakhiri hasutan-hasutan Al Jazeera.
Pada akhir Juli lalu, Netanyahu menyatakan akan 'mengusir Al Jazeera' yang dinilai Israel telah memicu kekerasan. Sementara, pimpinan Al Jazeera menyangkal dan mengatakan bahwa liputan mereka "profesional dan objektif".
Editor jaringan itu menuduh Netanyahu berkolusi dengan tetangga-tetangga Arab mereka yang otokratis dalam melancarkan serangan terhadap media bebas dan independen.
Saluran berita berbahasa Arab Al Jazeera pertama kali diluncurkan pada tahun 1996, dan langsung mengguncang lanskap media di Timur Tengah dengan siaran yang menayangkan pemberitaan kritis pada pemerintah dan penguasa di wilayah tersebut.
Al Jazeera mengatakan mereka adalah saluran Arab pertama yang menampilkan politisi dan komentator Israel di udara. Namun, Israel sering menuduhnya bias melaporkan konflik Israel-Palestina.