TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Energi Marwan Batubara mengatakan, pemerintah tak perlu mengikuti batas waktu yang diminta PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk menyelesaikan masalah kontrak kerja.
Baca : Terbelit Izin Ekspor, Freeport Nyatakan Force Majeure
“Kita harus melakukannya dengan cara-cara terhormat. Jadi kita tidak juga segera tunduk hanya karena diancam-ancam PHK, arbitrase internasional, lalu tunduk terhadap semua keinginan Freeport,” kata Marwan Batubara saat dihubungi Tempo, Senin, 20 Februari 2017.
Baca : Gerilya Freeport Setelah Temui Sri Mulyani dan Jonan
Menurut Marwan, pemerintah dapat meyakinkan karyawan Freeport untuk ikut memperjuangkan aturan yang harus ditaati perusahaan tambang tersebut. Mengingat, karyawan Freeport juga bagian dari pemerintah Indonesia.
“Karena mereka memang mau menang sendiri aja dari dulu. Kita yakinkan aja karyawan tak perlu khawatir. Toh kalau berhenti, pemerintah bisa membantu mereka. Jangan sampai mereka mau diperalat Freeport,” ucap Marwan.
Marwan mengatakan perjuangan pemerintah terkait kontrak kerja Freeport di Indonesia telah diperjuangkan sejak 2009 lalu. Salah satunya dengan melalui terbitnya Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009, terkait proses negosiasi terhadap seluruh pemegang kontrak karya (KK).
Bagi Marwan, isu strategis yang harus diselesaikan tidak hanya terkait pembangunan pemurnian mineral atau smelter, serta divestasi saham. Namun juga terkait tentang penerimaan negara, tingkat kandungan produk dalam negeri, luas wilayah pertambangan yang tak boleh lebih dari 25 ribu hektare, dan jangka waktu kontrak.
“Enam isu itu harus diselesaikan dalam satu paket,” kata Marwan.
Adapun kata dia, jika CEO Freeport Amerika meminta untuk kembali ke Kontrak Karya, maka seharusnya kontrak mereka berakhir pada 2021. Marwan mengatakan Freeport tak bisa asal meminta jaminan investasi.
"Karena memang dia tidak mau tunduk dengan apa yang kita minta," kata dia. "Jadi jangan cuma memikirkan apa yang mereka mau, jangan cuma bicara keinginannya, tapi kita juga punya mau dan itu ditetapkan dengan UU."
Marwan menuturkan yang terpenting saat ini adalah pemerintah dapat melakukan negosiasi sesuai batas aturan, yakni amanat UU nomor 4 tahun 2009. Misalnya luas wilayah itu tak boleh lebih dari 25 ribu hektare. Divestasi saham minimal 51 persen.
“Penerimaan negara juga ada ketentuannya, kalau sesuai dengan IUPK maka harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” ucapnya.
Hari ini Chief Executive Officer Freeport-McMoran, Richard Adkerson, menyatakan perusahannya memberikan waktu 120 hari kepada Indonesia untuk mempertimbangkan perbedaan yang terjadi antara Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Freeport.
Waktu 120 hari tersebut terhitung dari pertemuan terakhir kedua belah pihak pada Senin, 13 Februari 2017. Jika tidak, maka Freeport akan membawa permasalahan kontrak ini ke dalam arbitrase internasional.
DESTRIANITA