TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tidak mengurangi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi pengawasan. "PP tersebut pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 44 Tahun 2005 yang terkait dengan pembentukan induk usaha (holding) BUMN," ujarnya dalam keterangan resminya, Kamis, 9 Februari 2017.
Hal itu diungkapkan Sri Mulyani menanggapi pertanyaan Komisi Industri, Perdagangan, dan BUMN DPR yang dilontarkan kemarin. Dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan kemarin, Komisi VI menanyakan perihal beleid yang mengatur tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada badan usaha milik negara (BUMN) dan perseroan terbatas.
Lebih jauh, Sri Mulyani menyatakan PP tersebut pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari PP Nomor 44 Tahun 2005 yang terkait dengan holding BUMN.
Baca: Menteri Darmin: Sebaran KUR Berpusat di Jawa
Dalam aturan itu, pengalihan atau inbreng saham dalam rangka pembentukan holding BUMN tidak perlu lagi melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sebab, pembentukannya telah melalui mekanisme APBN dan mendapatkan persetujuan dari DPR. "Sehingga telah berstatus kekayaan negara yang dipisahkan,” ucap Sri Mulyani.
Berdasarkan pasal 2A ayat 2 PP tersebut, kekayaan negara yang dipisahkan adalah saham milik negara pada BUMN yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain, sehingga sebagian besar saham tersebut dimiliki BUMN lain. BUMN tersebut kemudian menjadi anak perusahaan dengan ketentuan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa.
Ketentuan tersebut, menurut Sri Mulyani, dimaksudkan agar negara tetap memiliki kontrol terhadap hal-hal yang strategis meskipun statusnya bukan lagi BUMN. “Meskipun status BUMN tersebut berubah menjadi anak perusahaan pada holding, DPR masih tetap memiliki kewenangan sesuai dengan Undang-Undang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD),” tuturnya.
Baca: Jabatan Apa yang Paling Diincar di Seleksi Komisioner OJK?
Beberapa waktu terakhir, PP Nomor 72 Tahun 2016 dikritisi karena dianggap melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN. Apabila sebelumnya dua hal itu harus dilakukan melalui persetujuan DPR, PP baru ini dinilai sebagian anggota Dewan tidak menyebutkannya.
Menurut sejumlah politikus di DPR, pelonggaran tata cara penyertaan modal negara tersebut berpotensi menimbulkan masalah karena penyertaan modal negara atau pengalihan kekayaan pada BUMN tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan DPR. Padahal, menurut mereka, peran pengawasan oleh DPR sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Perbendaharaan Negara.
ANGELINA ANJAR SAWITRI