TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah dilaporkan melemah tajam bersamaan dengan penguatan merata dolar Amerika Serikat di Asia. Rupiah ditutup di level 13.540 per dolar Amerika Serikat pada perdagangan Kamis kemarin.
Kondisi ini merespons hasil notulensi FOMC meeting oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang cenderung hawkish. "Namun intervensi Bank Indonesia yang agresif di pasar valas mampu meredam depresiasi rupiah," ujar analis pasar uang dari Samuel Sekuritas, Rangga Cipta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 25 November 2016.
Baca Juga:
Rangga mengatakan fokus domestik tertuju pada rencana aksi unjuk rasa hari ini. Selain itu, fokus lainnya yang ditunggu adalah rilis data inflasi November 2016. "Hasilnya baru dirilis Kamis pekan depan dan diperkirakan naik," katanya.
Menurut Rangga, secara umum, negatif terhadap rupiah akan bertahan dalam jangka pendek, walaupun hari ini syok yang terjadi memiliki peluang dapat mereda.
Adapun dari sentimen global, euro dilaporkan menguat tipis tadi malam setelah sebelumnya melemah tajam. "Pertemuan OPEC juga menjadi fokus," tutur Rangga. Pertemuan itu akan digelar pada pertengahan pekan depan sebelum beralih ke referendum Italia dan pertemuan ECB. "Volatilitas bisa kembali tinggi minggu depan."
GHOIDA RAHMAH