TEMPO.CO, Surabaya - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) menyatakan proses bongkar muat atau dwelling time di Pelabuhan Tanjung Perak tak bermasalah meski ada penumpukan peti kemas. Ketua DPW ALFI Jawa Timur Hengky Pratoko mengatakan Yard Occupancy Ratio (YOR) alias Rasio Keterisian Lapangan di Tanjung Perak rata-rata baru 60 persen.
"Masih ada 40 persen yang kosong," ucapnya dalam acara diskusi soal dwelling time di Hotel Ibis Surabaya, Selasa, 27 September 2016.
Sebelumnya, ratusan peti kemas yang menumpuk di terminal peti kemas ditengarai sebagai salah satu penghambat upaya pemangkasan sistem bongkar muat di Tanjung Perak. Temuan ini hasil Satgas Dwelling Time Polres Pelabuhan Tanjung Perak. Presiden Joko Widodo meminta pelabuhan Tanjung Perak dan Belawan mengkloning penerapan pemangkasan dwelling time seperti halnya di Tanjung Priok. Adanya upaya pemangkasan waktu bongkar muat di Priok membuahkan hasil menjadi hanya 3,2 hari saja. Inilah yang ingin diterapkan di pelabuhan-pelabuhan lain.
Namun kebijakan itu menuai reaksi. Kondisi menumpuknya ratusan peti kemas di Priok dan Perak, menurutnya berbeda. "Priok sudah over capacity, YOR-nya melebihi 80 persen," tuturnya. Sedangkan di Perak, dia klaim masih tak masalah. "Masih luas."
Hengky menambahkan, waktu bongkar muat di Tanjung Priok itu bisa 3,2 hari karena barang dikeluarkan dari lapangan penumpukan sebelum SPPB atau Surat Perintah Pengeluaran Barang dikeluarkan oleh Bea Cukai. SPPB adalah tanda barang impor dapat dibawa keluar terminal pelabuhan. Proses pembayaran dan pajak-pajak belum termasuk hitungan.
Selain itu, kata dia, Tanjung Priok menghitung dwelling time tanpa memasukkan komponen pemenuhan pembayaran jasa terminal dan pajak-pajak. Padahal menurutnya, pengurangan dwelling time ditujukan agar biaya logistik rendah.
"Ini yang saya khawatirkan. Mereka melakukan modified storage strategy dan itu dijadikan pembenar untuk mempercepat dwelling time," tuturnya.
Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Timur Bambang Sukardi menambahkan, pemberlakuan tarif progresif dengan persentase sama seperti di Tanjung Priok dapat menimbulkan masalah baru bagi importir yang masih bermasalah dalam pengurusan dokumen. "Kasihan nanti, dia harus dipaksa karena nggak bisa keluar sebelum SPPB keluar. Kalau yang sudah selesai SPPB kan nggak masalah, tinggal ditarik," tuturnya.
Dia berpendapat upaya pemangkasan dwelling time yang diharapkan dapat menyelesaikan satu masalah rentan menimbulkan masalah baru. "Pemerintah harus mengetahui dulu akar permasalahannya apa," ujarnya.
Kepolisian Resor (Polres) Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya menduga salah satu faktor penghambat pemangkasan proses bongkar muat (dwelling time) berasal dari importir. Kepala Kepolisian Resor (Kapolres) Pelabuhan Tanjung Perak, Ajun Komisaris Besar Takdir Mattanete menemukan ratusan peti kemas belum dikeluarkan atau diambil oleh importir. Menurutnya hal itu rentan menyebabkan penumpukan peti kemas di TPS. (Baca: Apa Penghambat Pemangkasan Dwelling Time di Tanjung Perak?)
Selengkapnya soal upaya pemerintah memangkas proses bongkar muat baca di sini.
ARTIKA RACHMI FARMITA