TEMPO.CO, Sidoarjo - Pemerintah Kabupetan Sidoarjo, Jawa Timur, sejak 2006 tidak menerima dana bagi hasil (DBH) migas dari pemerintah pusat. Hal itu dikarenakan produksi gas yang dihasilkan perusahaan milik keluarga Bakrie itu kecil.
"Gas yang dihasilkan Lapindo Brantas Inc hanya 4-5 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD)," kata Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Dinas Koperasi, Perdagangan, Perindustrian, dan ESDM Sidoarjo Agus Darsono seusai hearing dengan Komisi B dan manajemen Lapindo Brantas Inc di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo, Jumat, 13 Mei 2016.
Menurut Darsono, dana dari gas yang dihasilkan Lapindo habis setelah dikurangi cost recovery, first tranche petroleum (FTP), dan pajak. "Sehingga tidak ada alokasi dana bagi hasil (DBH) migas untuk daerah penghasil," ujarnya. Dia menyebut Pemerintah Kabupaten Sidoarjo sudah tidak menerima DBH migas sejak terjadi semburan lumpur Lapindo sepuluh tahun silam.
Darsono mengatakan, sebelum semburan lumpur Lapindo terjadi, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo masih sempat mendapatkan DBH migas Rp 1,9 miliar. Saat itu, kata dia, produksi gas Lapindo mencapai 80 MMSCFD. Gas sebesar itu dihasilkan dari 21 sumur yang berada di Lapangan Wunut dan Tanggulangin.
Berdasarkan perhitungannya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan mendapatkan DBH migas bila produksi gas Lapindo Brantas Inc sedikitnya mencapai 20 MMSCFD. Menurut dia, hal itu bisa dicapai mengingat potensi gas di dua lapangan tersebut cukup besar, yakni 8 miliar standar kaki kubik untuk Lapangan Tanggulangin dan 7 miliar standar kaki kubik untuk Lapangan Tanggulangin.
Vice President Public Relationship Lapindo Brantas Inc Hesti Armiwulan mengatakan untuk meningkatkan produksi gas, pihaknya dalam waktu dekat akan melakukan workover (perawatan sumur) di lima sumur di Lapangan Wunut dan Tanggulangin. "Insya Allah akhir bulan ini," katanya.
Sebelumnya, pada awal Januari, Lapindo Brantas Inc berencana melakukan pengeboran dua sumur baru di sumur Tanggulangin 1 (TGA-1) dan Tanggulangin 2 (TGA-2). Keduanya di Desa Kedungbanteng, Kacamatan Tanggulangin. Namun rencana itu dihentikan setelah mendapatkan penolakan warga setempat dengan alasan trauma.
NUR HADI