TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia terancam kesulitan mendapatkan akses obat-obatan generik jika bergabung dengan Kemitraan Trans Pasifik (TPP). Pasalnya, perjanjian dagang internasional yang diinisiasi Amerika Serikat dan melibatkan 12 negara ini mengandung pasal-pasal hak kekayaan intelektual yang memperkuat monopoli perusahaan farmasi dan dapat membatasi akses obat-obatan murah.
Dalam diskusi bertajuk “TPP, Jangan Korbankan Obat Murah” di Indonesia for Global Justice yang digelar di Jakarta, Senin, 25 Januari 2016, dokter Maria Guevara, perwakilan regional Dokter Lintas Batas (MSF) untuk kawasan Asia, mengatakan MSF sangat khawatir TPP akan memperburuk krisis obat-obatan di dunia.
"Pasal mengenai hak kekayaan intelektual dalam perjanjian TPP akan memperpanjang, memperkuat, dan memperluas monopoli perusahaan farmasi melebihi apa yang sudah diatur dalam ketentuan perdagangan internasional yang telah ada sebelumnya," ujarnya.
Menurut Maria, TPP akan mempermudah perusahaan farmasi mendapatkan paten untuk obat lama yang hanya sedikit dimodifikasi--praktek ini disebut peremajaan paten atau patent evergreening.
Sindi Putri, anggota staf advokasi dari Indonesia Aids Coalition (IAC), yang merintis Koalisi Obat Murah Indonesia, mengatakan, dari perspektif pasien, akan ada kekhawatiran bahwa TPP akan membawa kemunduran dalam perjuangan akses obat-obatan murah.
"Saat ini kami sedang mendorong revisi Undang-Undang Paten agar lebih memihak pada kesehatan masyarakat. Sebab, TPP akan memaksa negara untuk mengikuti aturan-aturan yang tidak memihak pada kepentingan kesehatan masyarakat,” ucap Sindi.
Tahun lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan niatnya bergabung dengan TPP. Niat tersebut ia sampaikan dalam kunjungan ke Amerika saat bertemu dengan Presiden Barack Obama. Hal itu menimbulkan pro dan kontra dari berbagai pihak terkait dengan keuntungan dan kerugian yang akan didapat setelah Indonesia bergabung dengan kemitraan tersebut.
INGE KLARA SAFITRI