TEMPO.CO, Jakarta- Asosiasi Mebel dan Kerajinan Republik Indonesia (AMKRI), melalui Direktur Jenderalnya, Abdul Sobur, mengungkit bahwa Presiden Joko Widodo sudah dua kali menegaskan perlunya meniadakan aturan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Sistem itu dianggap AMKRI membebani pelaku industri mebel dan menghambat produksi untuk ekspor.
Dalam pertemuan dengan media di Hotel Aryaduta Tugu Tani, Jakarta pada Senin, 5 Oktober 2015, perwakilan AMKRI mempertanyakan alasan kenapa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta jajarannya tidak melaksanakan perintah presiden akan pemangkasan SVLK.
"Kebijakan SVLK bisa jadi diberlakukan karena jumlah besar kami (pelaku industri mebel dan kerajinan) di Indonesia. Kami punya 5.000 lebih anggota asosiasi. Karyawan bisa mencapai 2,6 juta individu. Jika benar, ini tidak adil," kata Abdul.
Melalui rilis AMKRI kepada media saat press conference, penolakan Jokowi terhadap SVLK disampaikan saat pembukaan pameran IFEX di JIExpo Kemayoran Jakarta, 12 Maret lalu. Ketika itu, Jokowi meminta para menteri terkait menyelesaikan berbagai hambatan yang dihadapi industri mebel dan kerajinan, termasuk SVLK.
Penolakan juga disampaikan saat Jokowi mengundang pengurus AMKRI ke Istana, 15 April lalu, untuk membahas pencapaian target ekspor industri mebel dan kerajinan. Permintaan Jokowi sebelumnya sempat ditegaskan kembali dalam acara di Istana tersebut.
AMKRI mengatakan, SVLK yang diberlakukan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLH) dianggap menurunkan optimisme industri hilir yang ingin meningkatkan target pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan nasional menjadi US $ 5 miliar untuk lima tahun ke depan, setelah tahun 2014 lalu hanya mencapai US$ 1,9 miliar. Hingga juni 2015, nilainya mencapai US$ 930 juta. "Penerapan SVLK pasti berdampak pada penurun kinerja ekspor nasional," kata Abdul.
Dalam hal daya saing, Abdul juga menjelaskan, di ASEAN, Vietnam yang volume ekspornya tumbuh secara signifikan, nilai ekspornya mencapai US$ 7 miliar. Sedangkan Malaysia US$ 2,4 miliar. Untuk Indonesia, saat ini mencapai US$ 1,9 miliar cukup sulit. Nilai tersebut turun empat persen dari 2014 lalu.
YOHANES PASKALIS