TEMPO.CO, Jakarta - Masih rendahnya realisasi konsumsi dan belanja modal pemerintah menjadi salah satu pertimbangan Gubernur Bank Indonesia Martowardojo untuk mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 5,1% dari perkiraan sebelumnya dalam kisaran 5,4%-5,8%, Kamis (28/5).
Angka teranyar perkiraan bank sentral itu lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pemerintah sebelumnya yang juga belum lama ini memangkas proyeksi pertumbuhan dari 5,7% menjadi 5,4% PDB.
Adapun lembaga multilateral seperti Bank Dunia, ADB dan IMF sudah jauh-jauh hari memperkirakan penurunan laju ekonomi Indonesia, termasuk juga angka pertumbuhan di berbagai negara.
Pada intinya, revisi tersebut kian menguatkan perkiraan masih sulitnya perekonomian perekonomian di hampir semua negara yang pada ujungnya memberi kontribusi pelambatan pertumbuhan global.
Berbagai penyebab terjadinya pelambatan global tersebut sudah sering disebutkan seperti masih tertekannya harga komoditas, rendahnya harga minyak mentah dunia, faktor China dan lainnya.
Baca Juga:
Alhasil, pelambatan ekonomi yang dialami Tanah Air seharusnya tidak perlu dikhawatirkan karena secara umum, kondisi serupa juga terjadi di negara lain. Akan tetapi, faktor yang menjadi perhatian kali ini adalah sisi belanja yang masih rendah. Faktanya memang demikian.
Data Kementerian Keuangan hingga 15 Mei 2015 memperlihatkan pemerintah baru mampu merealisasi belanja negara Rp540,5 triliun atau setara 27,2% dari pagu APBN-P 2015 sebesar Rp1.984,1 triliun. Belanja itu terdiri dari penyerapan belanja pemerintah pusat yang sebesar Rp302,8 triliun atau 22,9% dari pagu.
Selain itu, belanja negara juga berasal dari transfer ke daerah dan dana desa yang mencapai Rp237,8 triliun. Namun, bila menilik pola penyerapan anggaran setiap tahunnya, realisasi belanja pemerintah pusat itu semestinya juga tidak perlu dikhawatirkan. Seperti dipahami, penyerapan belanja pada kuartal I selalu rendah karena proses tender baru dimulai.
Kuartal berikutnya, proyek sudah berjalan meskipun dalam kapasitas terbatas sesuai dengan dana yang diterima dalam bentuk uang muka. Dengan begitu, kuartal III dan IV penyerapan belanja pemerintah akan mencapai puncaknya.
Pola penyerapan anggaran itu seakan memperlihatkan bahwa semester II merupakan momentum pembuktian bagi pemerintah untuk dapat mengejar pertumbuhan di atas 5% PDB. Pemerintah harus dapat meyakinkan pelaku pasar dan pengusaha bahwa otoritas fiskal mampu mempertahankan pertumbuhan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.
Keyakinan ini menjadi kunci karena pebisnis akan melihat secercah harapan bahwa pertumbuhan tahun lalu adalah titik terbawah dan pada tahun ini perekonomian mulai pulih. Yang penting, pemerintah harus benar-benar serius dalam upaya menarik lebih banyak investasi.
Untuk itu, selain mendorong pada upaya pemantauan penyerapan belanja harian ini mengingatkan pemerintah agar tetap mengedepankan strategi business friendly demi menarik investasi secara masif dan mempercepat realisasi berbagai proyek infrastruktur.
Apabila sisi investasi ini dapat digenjot, pertumbuhan diharapkan dapat terkerek di saat sisi konsumsi dan belanja pemerintah belum dapat diandalkan seperti yang terlihat pada kuartal I tahun ini. Selain itu, koordinasi antar-lembaga berkesinambungan dibutuhkan untuk mempercepat penyerapan belanja.
Koordinasi yang efektif itu diyakini akan mampu mengatasi berbagai kendala klasik, a.l. lahan dan perizinan seperti yang dialami Kementerian PU-Pera dan Kementerian Perhubungan. Seperti diketahui, kedua kementerian ini mencatat penyerapan paling rendah di antara kementerian lain pada kuartal I.
Apabila prakondisi di atas dapat segera terpenuhi, tidak mustahil kita akan melihat penyerapan belanja yang lebih optimal dan berkualitas. Disebut berkualitas karena memang seharusnya penyerapan belanja APBN-P 2015 ini berbeda dengan tahun sebelumnya.
Target penyerapan belanja tahun ini hingga 92% semestinya punya nilai tambah dibandingkan dengan realisasi penyerapan 95% pada tahun sebelumnya. Perbedaan itu terletak pada hilangnya belanja untuk subsidi BBM dengan jumlah signifikan.
Kualitas penyerapan belanja tahun ini seharusnya berbeda karena elemen subsidi BBM—yang sifatnya konsumtif dan tidak memiliki multiplier effect besar—sudah dicabut. Hal inilah yang membuat dampak positif ke pertumbuhan seharusnya lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu dengan serapan yang sama.
Dengan begitu, pada semester II ini belanja produktif akan terjadi karena muncul multiplier effect yang menetes pada sektor lain. Semoga saja.