TEMPO.CO, Jakarta - PT Pertamina (Persero) hari ini mengumumkan hasil risetnya tentang bahan bakar energi baru terbarukan. Saat ini, tiga bahan bakar tersebut sedang dalam uji komersial sebelum diproduksi massal.
"Jika tiga produk ini bisa dimanfaatkan, Indonesia mampu menjadi penghasil energi nabati terbesar di dunia," kata Vice President Research and Development Pertamina Eko Wahyu Laksono dalam diskusi “Energi Baru dan Terbarukan” di kantor Pertamina, Jakarta, Senin, 18 Mei 2015.
Bahan bakar pertama adalah jenis hydrotreated biodiesel (HBD). Bahan dasarnya adalah minyak sawit fatty acid methyl tester (FAME) yang diproses secara hidro oksidasi untuk menambah efektivitas pembakaran.
HBD berbeda dengan FAME yang harus dicampur dengan solar fosil agar bisa berjalan. Bahan bakar baru ini dapat membakar mesin dengan kekuatan nabati yang terhidro oksidasi hingga 100 persen.
Pengujian HBD dilakukan di kilang Pertamina di Dumai, Riau, menggunakan katalis pengolahan khusus. Hasilnya, HBD minyak sawit mampu meningkatkan pembakaran puluhan kali lipat dibandingkan bahan bakar Pertamina berkualitas unggulan, Pertamina DEX. Selain itu, emisi biodiesel khusus ini jauh lebih rendah ketimbang solar biasa, yakni berkisar 3 ppm (part per million).
Selain minyak sawit, sumber lain yang dibidik Pertamina adalah minyak alga atau lumut. Nantinya, minyak ini juga melalui proses hidro karbonasi untuk meningkatkan efektivitas pembakaran. Alga diklaim Eko lebih produktif ketimbang minyak sawit dengan penghasilan 8.500 liter per hektare. Sedangkan sawit hanya berkisar 300-600 liter per hektare.
Bahan lainnya adalah solar emulsi yang merupakan campuran solar dengan air. Solar diaduk bersama air dan disenyawakan dengan surfactant dengan rotasi pengadukan tertentu. Solar emulsi disebut Eko lebih rendah emisi karena jelaganya tidak sehitam solar biasa. Bahan bakar ini cocok untuk pembakaran mesin bertenaga tinggi, seperti kapal motor nelayan, transportasi publik, ataupun kebutuhan industri. "Pengujian dilakukan menggunakan mobil sejauh 10 ribu kilometer oleh ITB," ujar Eko.
Eko mengatakan rencana peluncuran bahan bakar hijau mendapat respons positif dari pelaku industri. Salah satunya adalah Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia yang siap memasok kendaraan yang cocok untuk solar emulsi.
Dia juga yakin hasil risetnya akan lulus uji komersial sehingga mampu diproduksi secara massal. Apalagi saat ini potensi lahan Indonesia untuk bahan bakar nabati masih berkisar 15 juta hektare.
Kurniadi, dari Asosiasi Pemasaran Bahan Bakar Industri, menyatakan mendukung rencana Pertamina ini. Namun dia meminta Pertamina gencar memproyeksikan penguasaan sumber daya untuk memimpin pasar bahan bakar alternatif dalam negeri. "Pesaing Pertamina sudah lebih dulu menguasai FAME. Perusahaan harus lebih pintar," tutur Kurniadi.
ROBBY IRFANY