TEMPO.CO , Jakarta: Asosiasi Produsen Bauksit dan Bijih Besi Indonesia mengklaim saat ini pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian alumina anggotanya paling progresif ketimbang produsen bahan tambang lainnya. Namun, tanpa pendapatan operasional, mustahil pembangunan smelter bakal selesai sesuai target, yakni tahun 2025.
"Bagaimana bank dapat memberikan kredit kalau perusahaan tidak ada kegiatan operasional?" ujar Sekretaris Jenderal APBBI Ery Sofyan saat dihubungi, Jumat, 15 Mei 2015.
Terhentinya kegiatan operasional ini disebabkan oleh larangan ekspor bijih besi yang tertera dalam Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014. Pemegang izin usaha pertambangan tidak diberi rekomendasi ekspor sampai mempunyai smelter sendiri.
Sampai saat ini, perusahaan penambang bauksit sudah memulai pembangunan smelter, seperti PT Bintan Alumina, yang memulainya tahun ini. Smelter PT Bintan diperkirakan mampu mengolah 2 juta ton alumina dan 850.000 ton alumunium per tahun.
Smelter lain berkapasitas 2 juta ton alumina yang dibangun adalah milik PT Kotawaringin Timur Alumina. Saat ini proses pembangunannya menuju ke tahap peletakan batu pertama (groundbreaking).
Perusahaan Ery, PT Harita Prima Mineral Abadi, memulai pembangunan smelter lebih dahulu. Fasilitasnya, yang terdiri dua tahap ini, mampu menampung 4 juta ton alumina.
Pembangunan smelter Harita diklaim sudah mencapai 50 persen dan akhir tahun direncanakan masuk tahap uji coba produksi (commissioning). "Tahun depan commercial production sudah dimulai," ujar Ery.
Asosiasi mencatat, pembangunan smelter oleh PT Harita, PT Bintan Alumina, dan Pt Kotawaringin Alumina, telah mencukupi kebutuhan pengolahan alumina nasional yakni 8 juta ton. Maka, kata Ery, pemerintah tidak perlu memaksa setiap perusahaan memiliki fasilitas sendiri karena tidak efektif dan dapat menjatuhkan harga alumina di pasaran.
Sebelumnya, untuk smelter berkapasitas 2 juta ton, Harita menghabiskan dana US$ 1,1 miliar. Angka ini belum termasuk pembangunan pembangkit listrik ataupun dana pembebasan lahan.
Namun tidak semua perusahaan bauksit seberuntung Harita. Perusahaan Ery sendiri masih mempunyai fasilitas pengolahan di Cina, yang, meski tidak besar, bisa dipakai untuk menyuplai dana pembangunan smelter.
Sementara itu, harga produksi alumina lokal mencapai US$ 376 per ton, lebih tinggi dibanding harga jualnya di Cina, yang hanya Rp 355 per ton. Di luar sana, pesaing Indonesia, Australia, mampu menjual dengan harga US$ 320 per ton.
"Dari sini saja kelihatan kalau insentif untuk masukan dana perusahaan bauksit mutlak diperlukan. Harga jual semakin jatuh, sementara ongkos produksi tidak turun," ujar Ery.
Insentif, kata Ery, bisa diberikan dengan merevisi Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2014 untuk pelonggaran ekspor bauksit. Usul ini pernah dibawa Ketua Tim Percepatan Pembangunan Smelter Kementerian ESDM Said Didu, tetapi ditolak pemerintah.
ROBBY IRFANY