TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan penurunan angka kerugian negara semester II 2014 merupakan prestasi. "Ini artinya ada perbaikan," katanya saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 April 2015.
Menurut Achsanul, pihaknya akan segera melaporkan hasil temuan kerugian negara ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Pasti kami kirim setelah selesai dari DPR."
BPK menemukan 3.293 masalah yang berdampak finansial sepanjang semester kedua 2014. Temuan tersebut bernilai Rp 14,74 triliun. Dari jumlah itu, Rp 1,42 triliun mengakibatkan kerugian negara. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 1,7 triliun.
Dari nilai temuan sebesar Rp 14,74 triliun itu, sekitar Rp 3,77 triliun berpotensi merugikan negara dan Rp 9,55 triliun belum disetorkan. Selain itu, ada 3.150 masalah ketidakpatuhan yang mengakibatkan tidak ekonomis, tidak efisien, dan tidak efektif. Nilainya mencapai Rp 25,81 triliun.
Achsanul berkata penurunan kerugian ini karena pengelolaan keuangan negara di berbagai lembaga tinggi dan kementerian lebih baik. “Mereka sekarang melakukan sesautu lebih hati-hati dan tidak gegabah,” katanya. Perbaikan, menurut dia, karena BPK juga lebih ketat dan tegas dalam menindak hasil temuan. “Kalau ada temuan yang berulang, kita akan laporkan ke penegak hukum.”
Hasil temuan tersebut akan dilaporkan kepada para penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Namun Achsanul tak yakin kepolisian dan kejaksaan bakal cepat memproses hasil temuan tersebut.
Ketua BPK Harry Azhar Azis mengatakan salah satu yang menjadi sorotan BPK adalah mengenai belanja infrastruktur di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dari temuan BPK ada 137 kontrak proyek pembangunan transmisi dan gardu induk yang terhenti. Penyebabnya, ada pada pembebasan lahan yang berlarut-larut, sehingga izin kontrak tahun jamak tidak diperpanjang.
"Ini membuat hasil proyek yang belum selesai sebesar Rp 5,38 triliun tidak bisa dimanfaatkan. Ada kerugian negara senilai Rp 562,66 miliar," ucapnya. Kerugian itu berasal dari sisa uang muka yang tidak dikembalikan oleh penyedia barang/jasa. "Ini terjadi karena Menteri Keuangan kurang cermat dalam memberikan izin kontrak tahun jamak."
BPK juga menemukan masalah di sektor penerimaan pajak dan migas senilai Rp 1,124 triliun. Temuan masalah itu terdiri dari potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) migas terutang sebesar Rp 666,23 miliar dan potensi kekurangan penerimaan PBB migas di 2014 sebesar Rp 454,38 miliar.
DEVY ERNIS | ADITYA BUDIMAN