TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan (MIAP) Justisiari mengatakan, dalam menggunakan produk mewah, kebanyakan masyarakat Indonesia lebih memilih produk palsu. "Bukan karena tertipu. Mereka sadar kalau palsu, tapi yang penting gaya," kata Justi saat melakukan konferensi pers di Jakarta, Rabu, 25 Februari 2015.
Sebaliknya, untuk produk kosmetik dan obat, kebanyakan konsumen menggunakan produk palsu karena tidak tahu. Tak hanya potensi kehilangan pendapatan negara dari pajak dan kerugian konsumen, penggunaan produk palsu, menurut dia, juga akan mengurangi potensi lapangan pekerjaan.
Baca juga:
MIAP menyatakan, dari hasil survei 2014, ditemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 65,1 triliun akibat pemalsuan produk. Angka itu meningkat 1,5 kali lipat dari survei sebelumnya pada 2010 yang hanya Rp 43,2 triliun.
Ada tujuh industri dengan jumlah pemalsuan terbesar. Tinta printer palsu menjadi produk dengan jumlah pemalsuan terbesar, yaitu 49,4 persen pada tahun 2014. Selain tinta printer, produk lain dengan tingkat pemalsuan terbesar secara berturut-turut adalah pakaian palsu sebanyak 38,9 persen, barang olahan kulit 37,2 persen, peranti lunak 33,5 persen, dan kosmetik 12,6 persen. Adapun makanan dan minuman palsu masing-masing 8,5 dan 3,8 persen.
Dalam pergaulan internasional, penggunaan produk palsu akan merusak citra Indonesia. Bahkan, karena tingginya pelanggaran hak karya intelektual, Indonesia saat ini masuk priority watch list dalam hal investasi. Artinya, penanaman modal disarankan, tapi risiko pelanggaran hak cipta menjadi catatan tersendiri.
Baca juga:
"Untuk itu, kami imbau masyarakat agar menggunakan produk original, juga agar tak membunuh kreativitas," ucap Justi.
Penyidik Badan Reserse Kriminal Polri, Ajun Komisaris Besar Rusharyanto, mengatakan, selain dengan Undang-Undang Hak Cipta, pihaknya juga berupaya menjerat pelaku pemalsuan dengan undang-undang lain. Misalnya adalah UU Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar, UU Perindustrian dengan ancaman kurungan 5 tahun dan denda Rp 3 miliar, dan UU Migas dengan masa kurungan 5-6 tahun.
"Kami juga pernah menjerat pemalsuan dengan UU Kesehatan dengan masa kurungan 12 tahun penjara," katanya.
FAIZ NASHRILLAH