TEMPO.CO , Jakarta - Ekonomi Indonesia saat ini dinilai tahan banting dan tidak lagi masuk kelompok lima negara rentan (fragile five). Ihwal ketahanan ekonomi Indonesia ini diungkapkan majalah ekonomi internasional, The Economist, edisi 22 Februari 2014. Tahun lalu, Indonesia masuk kategori fragile five bersama Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Istilah fragile five mengacu pada lima negara yang paling bergantung pada investasi asing sehingga rentan ambruk akibat gejolak ekonomi global.
The Economist menyatakan, pada tahun lalu negara-negara fragile five mengalami gejolak ekonomi seiring dengan adanya kontroversi kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengurangi stimulus moneter (tapering off). Tahun ini, The Fed mengumumkan kelanjutan tapering off, sehingga negara-negara fragile five kembali mengalami gejolak ekonomi. Bank sentral Turki, India, dan Afrika Selatan beramai-ramai menaikkan suku bunga acuan untuk menyelamatkan nilai tukar (kurs) mata uang mereka. (Baca juga : Ekonomi Indonesia 2014 Masih Ditopang Jawa)
Namun, di Indonesia, kurs rupiah justru menguat 3,3 persen terhadap dolar AS. Penguatan itu merupakan yang tertinggi di antara mata uang negara berkembang lainnya. Indeks harga saham gabungan diperdagangkan melonjak ke level tertinggi selama empat bulan terakhir. Dana asing yang masuk pasar obligasi dan saham lokal bertambah US$ 1 miliar. (Lihat juga : Investor Incar Pertumbuhan Kelas Menengah)
Menurut The Economist, ekonomi Indonesia meraih momentum pertumbuhannya. Di antara negara-negara fragile five, Indonesia dianggap paling tahan banting. Kondisi tersebut justru didorong oleh lebarnya defisit neraca pembayaran yang menyentuh angka rekor US$ 10 miliar atau 4,4 persen dari produk domestik bruto pada tahun lalu. Pada Agustus 2013, Bank Indonesia menghindari kebijakan intervensi di pasar uang. Akibatnya, nilai kurs rupiah mengambang dan mendorong depresiasi sebesar 14 persen sejak Mei 2013 hingga saat ini. (Berita terkait : Ekonomi Membaik, Rupiah Melesat 108 Poin)
Melemahnya kurs rupiah justru membuat produk ekspor Indonesia menjadi lebih murah di pasar luar negeri, sedangkan produk impor lebih mahal. Kondisi itu mendorong nilai defisit turun hampir separuhnya menjadi hanya US$ 4 miliar atau 2 persen dari PDB pada 2013. Pada Desember tahun lalu, Indonesia mencatat rekor surplus perdagangan bulanan terbesar selama dua tahun terakhir, seiring dengan kenaikan angka ekspor hingga 10,3 persen.
Selain itu, yang membuat ekonomi Indonesia cukup kuat adalah karakteristik yang mengandalkan sumber daya. Artinya, semiskin apa pun orang Indonesia, dengan potensi alam yang melimpah mereka diyakini masih bisa bertahan hidup. Kondisi ini berbeda dengan negara maju. Karena mereka terbiasa dengan iklim ekonomi yang bagus, sekali mereka jatuh bakal susah bangkit kembali.
ANANDA PUTRI
Terpopuler :
Indosat Klaim Sudah Antisipasi Penyadapan
Indosat Yakin Ancaman Tifatul Tak Terbukti
Banyak Perusahaan Batu Bara Belum Berstatus CNC
Trik Jokowi Menggaet Foxconn
Lima Transaksi Jumbo di Lembah Silikon