TEMPO.CO, Depok - Kebanyakan orang menjadikan kegiatan merajut untuk sekadar mengisi waktu luang. Hanya sedikit yang menyadari bahwa merajut juga bisa mendatangkan keuntungan finansial. Tapi tidak untuk Rustini, 45 tahun, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Depok, Jawa Barat. Dari keahlian merajut, Rustini bisa mendapat pemasukan puluhan juta rupiah per bulan. Bahkan dia bisa melanglang buana gara-gara keahliannya itu.
"Saat mengikuti seminar tahun 2009, saya ditawari untuk pameran di Prancis mewakili Indonesia," kata Rustini saat ditemui di Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Centre Kota Depok di Jalan Margonda Raya, Depok, Ahad, 27 Oktober 2013.
Setelah pameran di Prancis berakhir, dia mendapat tawaran untuk menggelar kegiatan yang sama di Belanda, India, Singapura, dan Malaysia. Sekarang, permintaan rajutannya sudah meluas sampai Inggris.
Rustini tinggal di Kompleks Departemen Penerangan Blok X No.10 Kelurahan Harjamukti, Cimanggis, Depok. Pada 2007, dia mulai belajar merajut dari teman-temannya. Tujuannya hanya untuk mengisi waktu luang. Namun, belakangan, rajutannya ternyata banyak diminati oleh sejumlah kenalannya. Saat itulah Rustini berpikir untuk menekuni bisnis rajutan secara serius.
Menurut Rustini, awalnya dia hanya merajut taplak meja. Lama kelamaan dia mencoba untuk membuat busana rajutan. Karena rajin bereksperimen, perempuan itu kerap menemukan pola rajutan sendiri. Hanya dalam waktu empat bulan, Rustini sudah menemukan pola busana tanpa sambungan. Pola ini memungkinkan dia menggunakan benang yang tipis sehingga rajutan lebih lembut dan enak dipakai. "Pola inilah yang menjadi ciri khas kami sampai saat ini," kata dia.
Belum genap setahun kerajinan merajut itu ditekuni, dia sudah kebanjiran pesanan. Rustini juga mulai melirik pemasaran lewat bazar. Model-model yang ditawarkan antara lain bolero, cardigan, rompi, dan kaftan. Harga yang ditawarkan, antara Rp 25 ribu - Rp 750 ribu.
Dua tahun berjalan, usaha rajutan Rustini semakin berkembang. Pada 2009, dia mengirim profil usaha rajutan ke Kementerian Perdagangan. Ternyata Kementrian menyabut baik karya Rustini. Pemerintah kemudian menawarkan janda tiga anak pameran di luar negeri. Rustini kemudian mematenkan rajutannya itu dengan nama Ranalia.
Banyaknya permintaan membuat Rustini harus memperkerjakan orang lain. Dia kemudian merekrut belasan perajut yang dia ajari dari nol. Ada pakem yang tetap Rustini pertahankan sampai saat ini, yaitu menggunakan benang produk dalam negeri. "Masa saya bilang rajutan ini adalah khas Indonesia, tapi benangnya dari luar negeri," ujar Rustini.
Meski usahanya berjalan lancar, Rustini kerap mendapat kendala. Terutama, dalam penyediaan bahan baku rajutan. Di Indonesia, produsen benang rajut hanya ada satu. Akibatnya, dia terpaksa mengantre untuk memesan benang yang dibutuhkan. "Sudah produsennya cuma satu, warnanya pun kadang terbatas," kata dia.
Rustini mengakui, bisnis rajutan relatif lebih berat karena tidak semua orang menyukai model busana tersebut. Selain itu, rajutan juga menggunakan tangan sehingga membutuhkan waktu. Meski demikian, penyuka busana rajutan merupakan orang-orang yang fanatik dan kerap menjadi langganan tetapnya. "Biasanya kalau sudah jadi langganan, tidak mau pindah. Itu yang kita jadikan peluang," katanya.
ILHAM TIRTA
Berita Terpopuler
Jokowi: Blusukan di Jakarta Bikin Nangis
Demokrat Ditelanjangi, Ical: Bukan TV One
Pelaku Memanggil Adiguna Sutowo dan Istrinya
Mau Untung Besar dari Sengon, Ini Rumus Jokowi
Agus Yudhoyono Ikut Jakarta Marathon
Vokalis Saint Loco Disiram Air Keras di Wajahnya
Kronologi Penerobosan Rumah Adiguna Sutowo