TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Chatib Basri tetap tenang menghadapi terus menurunnya nilai tukar rupiah. Dia menyatakan yakin anjloknya nilai tukar rupiah tak akan sampai memicu krisis seperti era-1998. “Orang itu suka menyamakan kondisi 1998 dengan sekarang, padahal kondisi setiap periode tidak sama, begitu juga waktu krisis 2008, berbeda,” kata Chatib Basri dalam Rapat Paripurna membahas RAPBN 2014 di Senayan, Jakarta, 20 Agustus 2013.
Chatib dicecar oleh anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Tjahjo Kumolo mengenai anjloknya nilai tukar rupiah. Anggota Komisi Pertahanan DPR ini mempertanykan alasan di balik pernyataan Chatib yang mengatakan kondisi nilai tukar rupiah masih aman.
Chatib menjelaskan, meski telah terjadi krisis ekonomi di Thailand yang identik dengan situasi pra-krisis 1998, namun krisis yang terjadi lebih dari satu dekade lalu itu tak akan terulang. Menteri Keuangan merujuk pada tiga perbedaan kondisi menjelang krisis dan kondisi sekarang.
Pertama, waktu 1998 tingkat non performing loan alias kredit macet di sektor perbankan mencapai 30 persen. Sekarang tingkat itu jauh lebih rendah yakni di bawah 5 persen. “Sehingga bisa dikatakan pada saat ini sektor perbankan relatif lebih sehat,” kata dia.
Perbedaan kedua kredit perbankan (lendeng) ke sektor riil sangat tinggi. Ketika terjadi kemacetan sektor riil, industri perbankan langsung terdampak. Sekarang, kata Chatib, yang terjadi justru bank didorong-dorong untuk menyalurkan kredit. Sehingga dia menilai efek pelemahan rupiah akan terbatas.
Adapun perbedaan ketiga yakni tingkat nilai tukar yang berbeda. “Waktu 1998 exchange rate dibatasi sehingga masyarakat tidak terbiasa dengan nilai tukar yang fluktuatif,” dia menjelaskan. Pada saat ini kondisinya justru berbalik. “Sekarang justru ada orang senang dengan nilai tukar yang berfluktuasi, meskipun ada yang tidak suka. Tapi paling tidak kita sudah terbiasa dengan naik-turunnya nilai tukar.”
Perbedaan-perbedaan itu dinilai oleh Chatib pelemahan rupiah atas dolar tidak perlu dikhawatirkan. Meski demikian dia mengakui tidak ada negara manapun di dunia yang imun dari krisis. “Di tengah kondisi perekonomian global yang interdependen, krisis di negara mana saja pasti memberi dampak ke negara lain.”
Padahal, kata Chatib, kondisi perekonomian nasional jauh lebih baik dari negara lain seperti India dan Thailand. Perbedaan dengan India terletak pada defisit neraca perdagangan. India defisitnya sudah di atas 8 persen, tapi Indonesia masih 4,4 persen terhadap pendapatan domestik bruto. Bahkan dia optimistis defisit neraca perdagangan nasional bisa ditekan hingga 2,4 persen pada semester II 2013.
Defisit neraca perdagangan inilah yang menimbulkan kepanikan pada pasar, sehingga stock market jatuh. “Hal ini yang kami identifikasi sebagai penyebab utama pelemhan rupiah terhadap dolar,” kata Chatib. Dalam dua hari ke depan, pemerintah dan Bank Indonesia terus berkoordinasi untuk mengeluarkan kebijakan yang akan difokuskan untuk menjawab kekhawatiran pasar atas defisit neraca perdagangan.
“Selain itu, tentunya paket kebijakan juga harus antisipatif terhadap faktor eksternal, yaitu rencana quantitative easing bank sentral Amerika Serikat.”
PRAGA UTAMA