TEMPO.CO, Jakarta - Total E&P Indonesie menyatakan tak mungkin melaksanakan Peraturan Bank Indonesia mengenai Devisa Hasil Ekspor. Dalam beleid ini, bank sentral mewajibkan semua eksportir menggunakan bank dalam negeri untuk transaksi ekspor mereka.
"Untuk saat ini apa yang diminta Bank Indonesia tidak bisa kami implementasikan dan kami belum berencana mengimplentasikan," kata President Total E&P Indonesie Elisabeth Proust ketika ditemui di Kantor Pusat Total E&P Indonesie di Jakarta, Senin, 18 Februari 2013.
Vice President Human Resources Communications and General Services Total E&P Indonesie Arividya Noviyanto mengatakan selama ini tidak ada aliran dana hasil ekspor minyak bumi dan kondensat ke Total E&P Indonesia. Soalnya, Total tidak melakukan menjual sendiri minyak bumi dan kondensat yang mereka produksi. "Kami kontrak bagi hasil, harus diingat itu inkind. Kami menjual semuanya melalu trading company kami sehingga memang tidak ada aliran dana kepada Total E&P Indonesie," kata Arividya
Ia mengatakan, jika tujuan Bank Indonesia hanya untuk pencatatan devisa ekspor, maka pihaknya bersedia menyediakan data pembukuan mereka. Dalam pembukuan, kontraktor migas asal Perancis ini mencatat volume lifting kemudian dikonversikan sesuai dengan harga Indonesia Crude Price (ICP). "Untuk keperluan rekonsiliasi atau yang lain kami siap membantu, datanya akan kami sediakan. Kami kirim barang nilainya A, setiap memberikan informasi bahwa yang dipindahbukukan senilai A," kata Arividya.
Total menyatakan tidak mungkin menjual sendiri bagian bagi hasilnya. Sehingga mereka tidak akan bisa mencatatkan devisa ekspor mereka lewat bank di dalam negeri. "Karena frame work-nya seperti itu, kami tidak boleh jualan," kata Arividya.
Proust menyatakan jika kaitannya dengan stabilitas nilai tukar rupiah, Total merasa sudah berkontribusi besar terhadap Indonesia. Proust mengklaim Total telah menggunakan bank dalam negeri untuk pengelolaan belanja modal mereka setiap tahunnya. "Saya pikir kita harus melihat kontribusi kami, kami memasukkan US$ 2,5 miliar cash expenditure melalui bank nasional. Jadi ini sudah jumlah yang besar. Kami sudah melakukan apa yang kami bisa lakukan untuk mempertahankan rupiah melalu sistem ini," tutur Proust.
Arividya mengatakan sebetulnya jumlah dana yang masuk lewat belanja modal jauh lebih besar ketimbang nilai penjualan minyak bumi. Dia mencontohkan pada 2011 total penjualan minyak dan kondensat sepanjang tahun sebesar US$ 500 juta.
"Kalau dalam hal membantu foreign exchange transaction, nilai liquid tadi cuma US$ 500 juta per tahun pada 2011, dengan produksi kami yang turun mungkin juga berkurang. Sedangkan dalam expenditure, investasi sekitar US$ 2,3 miliar, sudah banyak dolar yang kami impor untuk membayar vendor kami. Kami tetap berkontribusi," kata Arividya.
BERNADETTE CHRISTINA