TEMPO.CO, Jakarta - Terhambatnya pertumbuhan ekonomi global berpotensi membebani pergerakan mata uang yang dianggap berisiko, termasuk rupiah.
Pengamat pasar uang dari Bank Himpunan Saudara 1906, Rully Nova, mengatakan penguatan rupiah pekan lalu yang dipicu oleh membaiknya data ketenagakerjaan Negeri Abang Sam hanya bersifat sesaat. “Investor masih menunggu konsistensi perbaikan data ekonomi AS lainnya setelah stimulus oleh The Fed, September lalu,” ujarnya.
Rupiah diperkirakan masih akan bergerak di kisaran 9.550-9.600 per dolar AS dengan kecenderungan melemah. “Belum ada sentimen positif baru di pasar membuat rupiah masih sulit untuk bisa menjauh dari level 9.600 per dolar,” ujar Rully.
Investor masih berhati-hati melakukan eksposur di pasar uang. Pertumbuhan ekonomi AS dan Cina yang belum konsisten, ditambah ketidakpastian penyelesaian krisis Eropa, akan menguntungkan dolar AS, sehingga dapat menahan apresiasi rupiah.
Meski tenaga kerja membaik, kata Rully, data tersebut masih belum menunjukkan kondisi riil ekonomi AS. Pelaku pasar masih berharap data penjualan retail yang akan dirilis pekan ini akan kembali membaik. “Ekonomi AS ditopang oleh faktor konsumsi domestik, sehingga perbaikan data retail dapat menjadi indikasi membaiknya ekonomi,” ujarnya.
Investor pekan ini juga akan mencermati konsistensi perbaikan ekonomi di Cina. Negeri Panda ini sebetulnya diharapkan dapat menggantikan posisi Amerika sebagai motor kekuatan ekonomi dunia saat ini. Tapi, Cina justru mengalami perlambatan akibat krisis Eropa yang berkepanjangan. Kondisi tersebut diharapkan menjadi acuan pemerintah Cina untuk kembali mengeluarkan stimulus moneter dalam waktu dekat.
Akhir pekan lalu rupiah ditutup di level 9.577 per dolar AS, yang berarti menguat 12 poin (0,12 persen) dibanding pekan sebelumnya di posisi 9.589 per dolar AS.
PDAT | M AZHAR