TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomo Hadi menilai larangan penggunaan BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas tak efektif.
Pasalnya, beberapa pengguna mobil dinas ketahuan mengakali larangan dengan mengganti pelat nomor dan mencopot stiker. "Saya usul, lebih baik jika yang berhak membeli BBM bersubsidi yang diberi stiker," ujar Eri dalam diskusi bertajuk "BBM Boros, Anggaran Keropos", Sabtu, 15 September 2012.
Seperti diketahui, pemerintah mengeluarkan larangan penggunaan BBM bersubsidi untuk mobil dinas. Larangan tersebut berlaku untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mulai 1 Juni 2012, dan wilayah Jawa-Bali mulai 1 Agustus 2012.
Berdasarkan temuan di lapangan, Eri mengungkapkan, terdapat mobil dinas yang menggunakan nomor polisi ganda (pelat hitam dan merah) dan melepas stiker keterangan pengguna BBM nonsubsidi. Tujuannya untuk menghindari kewajiban membeli BBM nonsubsidi.
"Mereka melakukan ini karena dulu kan belum dianggarkan, aturan mobil dinas tidak boleh pakai BBM bersubsidi baru diberlakukan Juni. Begitu mereka minta (anggaran) ke Pemda, tidak ada dana," ujar dia.
Meski larangan tak efektif, Eri mengapresiasi langkah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) yang sudah menurunkan petugas ke lapangan untuk membagikan stiker dan melakukan pengawasan. Namun, ia mengingatkan, pengawasan oleh petugas justru berpotensi membuka ruang penyelewengan baru.
Eri berpendapat, solusi terbaik dalam mengatasi masalah penggunaan BBM bersubsidi oleh yang tak berhak adalah dengan memperkecil disparitas harga antara BBM bersubsidi dan nonsubsidi. Ia mengungkapkan, jika pemerintah mengambil langkah ini, konsumsi BBM bersubsidi oleh mobil mewah yang diperkirakan mencapai sekitar 5 persen bisa diminimalkan.
Adapun anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewi Aryani, menyatakan tak setuju dengan solusi penghematan BBM bersubsidi dengan cara memperkecil disparitas harga. "Seperti membeli mobil, ada alternatif, yang punya uang beli Ferrari, yang tidak punya membeli yang di bawahnya." Ia mengimbuhkan, besarnya konsumsi BBM bersubsidi bukan pula salah masyarakat. "Kita bangsa Timur ini melihat panutan, pejabat sudah berhemat belum," ucapnya.
Dewi menegaskan, solusi bagi persoalan besarnya konsumsi BBM bukan dengan memperkecil disparitas harga, tapi menyediakan alternatif energi. Hingga kini, penyerapan anggaran untuk kebutuhan pengembangan energi baru belum maksimal. "Penyerapannya masih rendah," ucapnya.
MARTHA THERTINA