"Pengusaha khawatir melihat kerusuhan begitu karena hampir sama seperti 1998 (Indonesia)," katanya di Jakarta, Senin (31/1). Fahri mengatakan eksportir belum menentukan akan mengambil tindakan apa dan masih dalam situasi menunggu. Beberapa pengusaha memiliki pabrik di Mesir dan kondisi terakhir pabrik di sana belum diketahui.
Penurunan volume dan nilai ekspor sampai saat ini belum diketahui. Demikian pula nasib barang-barang yang sudah terlanjur dikirim dan saat ini sedang dalam perjalanan ke Mesir. Menurut Fahri seberapa besar penurunan nilai ekspor baru bisa dilihat minggu depan.
Jika suasana kembali kondusif, dipastikan aktifitas dagang akan kembali dilanjutkan. Tetapi ada kekuatiran di kalangan pengusaha krisis akan menyebar ke negara sekitar. Sampai saat ini penghentian ekspor tidak hanya terjadi untuk Mesir tetapi juga negara tetangga seperti Tunisia dan Yaman.
Meski ada kekhawatiran, Fahri yakin kerugian dari penghentian ekspor tidak besar. Ia beralasan volume perdagangan Indonesia dengan Mesir kecil. Negara mitra dagang utama di Indonesia di Timur Tengah adalah Turki, Uni Emirat Arab dan kawasan Timur Tengah. "Ada kerugian tetapi paling untuk sewa gudang," katanya.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan sampai saat ini pemerintah belum bisa menilai pengaruh krisis ini terhadap perdagangan dan investasi. Namun ia mengharapkan ada penyelesaian yang baik untuk krisis yang terjadi di Mesir. "Sementara kita lihat saja dulu, kita tunggu dulu," katanya.
Kementerian Perdagangan mencatat total nilai perdagangan Indonesia-Mesir sampai Oktober tahun lalu mencapai US$890 Juta atau tumbuh 40,79 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Ekspor Indonesia sejumlah US$736 juta, dengan impor US$153,9 juta. Beberapa produk ekspor Indonesia seperti minyak sawit, karet alam, kertas dan lainnya.
KARTIKA CHANDRA