TEMPO Interaktif, Jakarta - Survei The Jakarta Consulting Group menyatakan bisnis keluarga di Indonesia rawan pada generasi keempat. Hasil penelitian konsultan Bisnis Strategi Manajemen, A.B. Susanto menyatakan, tingkat ketertarikan generasi keempat untuk meneruskan bisnis keluarga hanya lima persen.
Menurut Susanto, pada generasi kedua tingkat ketertarikan masih tinggi yakni 61 persen. Namun angka ini terus menurun pada generasi ketiga yakni 24 persen, dan pada generasi keempat menjadi empat persen.
Masalah pengalihan kepemimpinan dari generasi ke generasi berikutnya memang menjadi satu dari tujuh hal yang kritis dalam bisnis keluarga. “Ada konflik nilai, kesenjangan generasi, perbedaan ketertarikan,” kata Susanto dalam acara Family Business Conference di Hotel Ritz Carlton, Kuningan, Jakarta, Kamis (11/11).
Hal ini kemudian merembet pada suksesi sehingga rencana estafet tongkat kepemimpinan tidak berhasil, yang menjadi hal kritis kedua. Ketiga, struktur manajemen yang berkaitan dengan kepemimpinan, yang umumnya hanya dimainkan satu orang atau “one man show leadership.”
Keempat, masalah keadilan dalam pembagian kompensasi antar keluarga dan non keluarga. Kelima, masalah sumber daya manusia. Keenam, masalah pembagian keuntungan di antara anggota keluarga. Ketujuh, masalah kesamaan minat dan pendapat untuk mendukung proses bisnis.
Tantangan yang dihadapi bisnis keluarga umumnya karena kesenjangan tenaga ahli, arus modal atau mengendalikan biaya, reorganisasi korporasi, dan keuntungan.
Riset A.B. Susanto menyebutkan, mayoritas bisnis keluarga di Indonesia dialihkan ke generasi berikutnya sebanyak 28,8 persen, dialihkan ke anggota keluarga yang lain sebanyak 12,9 persen, menjual bisnisnya ke pemilik lain sebanyak 19,8 persen, menjual bisnisnya ke pasar terbuka sebanyak 16,4 persen, didivestasikan sebanyak 5,4 persen, menjadikan perusahaan terbuka dengan menawarkan saham 5 persen, dan mencari rekan kerja sama 5,4 persen. Pada generasi keempat, umumnya perusahaan keluarga tersebut kemudian dijual kepada pihak lain, pecah, atau dijadikan perusahaan terbuka.
Jusuf Kalla, pemilik perusahaan Kalla Group berpendapat, yang paling penting dipertahankan adalah perusahaan induk. “Jangan pakai prinsip petani Jawa, yang lahannya satu dibagi-bagi ke seluruh anaknya. Justru kalau keturunan bertambah, lahan harus ditambah,” kata Jusuf Kalla.
Artinya, kata dia, perusahaan keluarga mesti melakukan ekspansi bisnis. Dia mencontohkan perusahaannya, pada perusahaan induk jabatan direktur utama dan wakil direktur masih dipegang anggota keluarga: adik bungsunya dan anak perempuannya. Sedangkan pada anak perusahaan, jajaran direksi diisi oleh profesional.
Bisnis keluarga Kalla tersebut meliputi beberapa kelompok perusahaan di berbagai bidang industri. Tahun 1968, Jusuf Kalla menjadi CEO dari NV Hadji Kalla. Di bawah kepemimpinannya, NV Hadji Kalla berkembang dari sekadar bisnis ekspor-impor, meluas ke bidang-bidang perhotelan, konstruksi, pejualan kendaraan, perkapalan, real estate, transportasi, peternakan udang, kelapa sawit, dan telekomunikasi.
Mooryati Soedibyo, Presiden Direktur PT Mustika Ratu, Tbk mengaku sedang menulis disertasi tentang suksesi bisnis keluarga. Menurutnya, hanya 40 persen bisnis keluarga yang bisa bertahan. “Dari 40 persen itu, hanya lima persen yang bisa menjadi perusahaan besar,” tuturnya.
Mooryati berpendapat, tak harus anak tertua atau anak laki-laki yang menjadi penerus bisnis keluarga. Putri Kuswisnu Wardani adalah putri Mooryati yang meneruskan bisnis kosmetik keluarga ini. “Bisa juga melibatkan kaum profesional, tapi keluarga mesti tetap memegang kendali,” ujarnya.
Untuk mencegah perusahaan keluarga pecah, menurut pemilik Bosowa Group Aksa Mahmud, pembagian saham kepemilikan mesti rata di antara anggota keluarga. Idealnya, perusahaan keluarga dijadikan perusahaan terbuka agar bisa dikelola secara profesional.
“Suatu bisnis keluarga tumbuh dan berkembang kalau sudah masuk pasar modal. Tapi tetap dikendalikan oleh keluarga,” kata Aksa. Alasannya, dengan mengikuti aturan pasar modal maka intervensi keluarga atas bisnis keluarga bisa dihindari.
Aksa melanjutkan, sebelum mengalihkan tampuk kepemimpinan dari generasi pertama kepada generasi kedua, perusahaan keluarga harus sudah disiapkan untuk menjadi perusahaan terbuka. Generasi pertama sudah mulai menyiapkan kandidatnya baik secara kemampuan manajemen dan pengetahuan dan melibatkan kaum profesional.
NIEKE INDRIETTA