"Potensi pendapatan Indonesia dari rotan hanya US$ 3 miliar atau 3 persen dari total potensi penjualan rotan dunia. Padahal 85 persen produksi bahan baku rotan berasal dari Indonesia. Ini apa yang terjadi, what's wrong?," ujar Emil dalam diskusi bertajuk Mengembalikan Kejayaan Sumber Daya dan Ekonomi Rotan Indonesia hari ini.
Asal mula menurunnya pendapatan dari rotan, ungkap Emil, berawal dari pelarangan ekspor rotan setengah jadi pada tahun 1986. Pasalnya pelarangan itu memunculkan barang substitusi berupa rotan imitasi, plastik dan lainnya.
Anehnya, papar Emil, dengan pelarangan ekspor rotan dalam bentuk setengah jadi selama 25 tahun itu bukannya membangun industri rotan, justru perkembangannya terus menurun. Buktinya, dari 614 unit industri pengolah rotan, pada 2008 tinggal 234 yang bertahan. "Logika berkata proteksi itu untuk melindungi industri. Kok justru banyak yang tutup," ujarnya.
Untuk mengembalikan kejayaan rotan, Emil mengatakan, industri pengolahan perlu ditingkatkan. Dia menuturkan, sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi negara pengekspor bahan mentah. Perlu dibangkitkan industri pengolahannya agar mendapatkan value added dari produk tersebut.
Sebab itulah Emil mengimbau para produsen rotan serta pengusaha pengolahan rotan untuk duduk bersama membahas rencana ke depan. Kuncinya, lanjut dia, adalah produsen rotan dan pelaku industri pengolahan rotan bersatu. Karena selama ini bahan baku berasal di luar Jawa dan produksi berpusat di Cirebon.
"Dua pihak itu harus bersatu, ajak stakeholder lainnya duduk bersama membuat roadmap. Saya harap sebelum bulan puasa kita sudah ada ini agar bisa menemui pihak Kementerian Perindustrian. Bagaimana caranya yang 85 produksi rotan itu berbendera made in Indonesia, karena potensi pasarnya juga besar," kata Emil.
MUTIA RESTY