"Saat ini kami masih menunggu keputusan tim. Tapi kalau pada akhirnya kami ditunjuk sebagai pengelola Inalum, kami siap," kata Corporate Secretary Antam Bimo Budi Satrio lewat telepon, Selasa (15/6).
Ia mengatakan, pihaknya siap mengambilalih Inalum berapa pun biayanya. "Karena itu sejalan dengan rencana perusahaan membangun pabrik aluminium sendiri. Selama ini kami masih mengimpor," ujar dia.
Baca Juga:
Namun ia belum bisa memastikan jika jadi mengambilalih Inalum, apakah nantinya Antam akan memasarkan produknya hanya di dalam negeri, atau akan membuka keran ekspor. "Soal itu belum tahu. Kami masih menunggu keputusan," tuturnya.
Sebelumnya, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar mengatakan, pihaknya berharap Inalum akan dikuasai sepenuhnya oleh perusahaan pelat merah. Ia menyebutkan BUMN mampu membeli Inalum sepenuhnya dengan dana korporasi.
Saat ini tim perunding masalah Inalum yang diketuai Menteri Perindustrian MS Hidayat tengah melakukan pengkajian, apakah BUMN akan mengelola Inalum sepenuhnya, atau akan kembali berbagi saham dengan perusahaan-perusahaan Jepang seperti sebelumnya.
Inalum didirikan di Jakarta pada 6 Januari 1976 berdasarkan Perjanjian Induk (Master of Agreement) yang diteken pada 7 Juli 1975 di Tokyo. Pemerintah Indonesia saat itu meneken perjanjian dengan 12 perusahaan swasta Jepang.
Mereka adalah Sumitomo Chemical Company Ltd, Sumitomo Shoji Kaisha Ltd, Nippon Light Metal Company Ltd, C Itoh & Co Ltd, dan Nissho Iwai Co Ltd. Selain itu, Nichimen Co Ltd, Showa Denko KK, Marubeni Corp, Mitsubishi Corp, dan Mitsui Aluminium Co Ltd.
Sebanyak 41 persen saham Inalum dimiliki Indonesia, adapun sisanya 59 persen milik pemerintah Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan 12 perusahaan yang meneken kesepakatan tersebut.
Kontrak Inalum akan berakhir pada 2013. Sesuai ketentuan yang diteken dalam perjanjian itu, tiga tahun sebelum masa kontrak berbentuk "build, operate, and transfer" (BOT) itu berakhir, semua pembayaran utang harus dilunaskan.
Investasi proyek raksasa Asahan ditanamkan sejak 1976. Proyek yang berlokasi di Porsea, Asahan, Sumatera Utara itu, menelan dana sekitar 400 miliar yen atau setara Rp 50 triliun dengan modal pinjaman dari pemerintah Jepang.
ISMA SAVITRI