"Sebanyak 28 persen pelaku bisnis ekspor impor Indonesia menganggap regulasi perdagangan menjadi kendala yang utama," kata Vincent Sugianto, Head of Trade and Supplay Cain HSBC Indonesia dalam HSBC Trade Confidence Monitor di Jakarta, Selasa (4/5).
Pernyataan itu terungkap berdasarkan survei HSBC Trade Confidence Monitor yang mengukur tingkat optimisme pelaku perdagangan internasional. Selain itu, HSBC juga mengukur pandangan pelaku perdagangan terhadap pertumbuhan bisnis ekspor impor dalam enam bulan ke depan.
Survei dilakukan kepada 5.120 pengusaha yang tersebar di 17 negara. Sementara di Indonesia, survei HSBC dilakukan terhadap 300 pengusaha. Para pelaku usaha yang disurvei memiliki omzet usaha sebesar Rp 2,5 miliar hingga Rp 1 triliun.
Meski begitu, regulasi bukan menjadi kendala utama bagi sebagian besar pelaku bisnis ekspor impor. Hasil survei menunjukkan kendala utama yang juga dinilai oleh sebagian besar pengusaha bisa menghambat pertumbuhan bisnis ekspor dan impor masih berkisar soal fluktuasi nilai tukar.
Hal tersebut diakui oleh 47 persen pelaku bisnis ekspor-impor Indonesia yang disurvei. Adapun sekitar 30 persen pelaku bisnis ekspor dan impor menganggap kenaikan suku bunga merupakan kendala utama pertumbuhan bisnis.
Tahun lalu, pemerintah mengeluarkan aturan ekspor barang yang harus menggunakan sistem pembayaran dengan letter of credit. Aturan L/C wajib diberlakukan untuk ekspor produk pertambangan, dan komoditas seperti kakao, karet, dan minyak kelapa sawit (CPO).
Sindu Utomo, Kepala Sub Direktorat Elektronika, Direktorat Ekspor Produk Industri dan Pertambangan, Dirjen Pedagangan Luar Negri, Kementerian Perdagangan, mengatakan, peraturan L/C wajib diberlakukan untuk membantu dunia perbankan saat krisis.
Sebab, pada pada masa krisis transaksi perdagangan lebih banyak dilakukan dengan sistem transfer. "Kalau ada yang keberatan, mungkin itu dari perusahaan luar negeri yang harus menggunakan fasilitas L/C sehingga juga membayar biaya fasilitas itu pada bank Indonesia," tutur dia.
EKA UTAMI APRILIA