TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan dikabulkannya uji materi terhadap UU Cipta Kerja (Undang-undang Cipta Kerja) oleh Mahkamah Konstitusi menunjukkan keadilan masih ada.
“Bahwa keadilan itu masih ada. Kami sangat terharu dan mengapresiasi para hakim MK. Tidak ada dissenting opinion (pendapat bereda) pada hari ini,” kata Said Iqbal saat ditemui usai sidang putusan di Gedung I MK, Jakarta, Kamis, 31 Oktober 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang diajukan partainya bersama sejumlah serikat buruh yang lain.
Said menyoroti bahwa sembilan hakim konstitusi memiliki suara yang bulat dalam mengabulkan sebagian permohonan uji materi tersebut. MK mengabulkan pengujian konstitusionalitas 21 norma pasal di dalam UU Ciptaker.
Selain itu, Said juga menggarisbawahi perintah MK kepada DPR dan pemerintah untuk segera menggodok UU Ketenagakerjaan yang baru.
“Perintahnya paling lambat dua tahun ke depan itu ada satu UU yang baru yang mengatur tentang dunia ketenagakerjaan, tentang kita. Karena sekarang ini di Omnibus Law (UU Cipta Kerja) nasib kita diatur pemilik modal, ya, enggak nyambung,” kata dia.
Lebih lanjut, Said meminta agar DPR betul-betul menjalankan amanat putusan MK, dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan Mahkamah. Harapan serupa juga diutarakan Said kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
“Bapak Presiden Prabowo, tolong rakyat, bantu rakyat, hormati rakyat. Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK, melalui partai buruh dan serikat buruh yang telah menang. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” ucapnya.
MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023. Perkara tersebut diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).
Pada amar putusannya, MK mengabulkan pengujian isu konstitusionalitas 21 norma pasal dalam UU Ciptaker yang berkaitan dengan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerjaan alih daya (outsourcing), cuti, upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pesangon.
Selain itu, MK juga memerintahkan pembentuk undang-undang untuk membentuk UU ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Ciptaker. MK memberi waktu paling lambat dua tahun.
Berikut poin penting putusan MK:
1. Pembuatan UU Ketenagakerjaan Baru
Mahkamah Konstitusi meminta pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, segera membuat undang-undang ketenagakerjaan baru dan memisahkannya dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
MK memberi waktu maksimal dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk merampungkan UU Ketenagakerjaan yang baru. MK juga mengingatkan agar pembuatan UU tersebut harus melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja maupun buruh.
“Dengan UU baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi atau substansi UU Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Substansi UU ketenagakerjaan yang baru, berdasar perintah MK, harus menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja, sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan MK yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
“Dengan cara mengaturnya dalam undang-undang tersendiri dan terpisah dari UU Nomor 6 Tahun 2023 (tentang Cipta Kerja), UU Ketenagakerjaan akan menjadi lebih mudah dipahami,” ucap Enny.
MK menjelaskan, pembuatan UU baru diperlukan karena UU Ketenagakerjaan yang lama sudah tidak utuh. Sebagian materi atau substansinya dinyatakan inkonstitusional oleh MK dalam perkara uji materi terdahulu.
Selain itu, secara faktual, UU Ketenagakerjaan telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Akan tetapi, menurut MK, tidak semua materi atau substansi UU Ketenagakerjaan diubah oleh pembentuk undang-undang.
Artinya, hal-hal mengenai ketenagakerjaan pada saat ini diatur dalam dua undang-undang, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Paling Lama Lima Tahun
Putusan tersebut merupakan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Hal ini merupakan salah satu norma yang dikabulkan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023.
“Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan,” kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 tersebut sebelumnya berbunyi: “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.”
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menggarisbawahi bahwa perjanjian kerja dibuat antara pihak pengusaha dan pekerja atau buruh dalam kedudukan para pihak yang tidak seimbang. Pekerja atau buruh, kata MK, merupakan pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah.
Oleh karena itu, MK menyatakan jangka waktu PKWT penting untuk diatur di dalam undang-undang, bukan dalam peraturan turunan maupun perjanjian lainnya.
3. Tentang Pekerja Alih Daya
Pekerjaan dengan tenaga alih daya (outsourcing) hanya untuk yang bukan perkerjaan utama, seperti cleaning service, security, catering, driver. MK memandang UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan lebih baik.
4. Alasan PHK
Dalam UU Cipta Kerja, alasan pemutusan hubungan kerja dari yang sebelumnya telah dibatasi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menjadi lebih variatif yang diatur dalam
peraturan pelaksana Undang-undang Cipta Kerja misalnya alasan PHK karena efisiensi mencegah kerugian sebagaimana diatur dalam PP No 35 tahun 2021.
5. Besaran Uang Pesangon
Mengembalikan nilai perhitungan pesangon sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan antara lain besaran pengali Uang Pesangon dalam hal Pensiun sebelumnya dihitung 2 kali dan diganti menjadi 1,75 dan dihapus/dihilangkannya Uang Penggantian Hak sebesar 15% dari Uang Pesangon dan Uang Penghargaan Masa Kerja;
6. Tumpang Tindih dengan UU CIpta Kerja
Menurut MK, tumpang tindih norma yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi pekerja maupun pemberi kerja.
“Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan atau diakhiri, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan,” kata Enny.
Pembentukan UU ketenagakerjaan yang baru ini disampaikan MK dalam pertimbangan putusan Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023, berkenaan dengan uji materi UU Cipta Kerja.
Pilihan Editor Anggito Baru Cerita Prabowo Akan Lindungi Pertamina, Kejaksaan Agung Satroni Gedung BUMN Itu