TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk. atau Sritex tercatat memiliki utang ke PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk senilai US$ 23.807.151 atau sekitar Rp374 miliar. BNI merupakan satu dari 28 kreditur perbankan raksasa tekstil yang baru saja dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang tersebut.
Sekretaris Perusahaan BNI, Okki Rushartomo mengaku terus memantau perkembangan proses pailit Sritex oleh PN Semarang. Saat ini, kata dia, BNI berkoordinasi dengan pemerintah khususnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan untuk membahas langkah selanjutnya. “Kami menghormati proses yang masih berjalan terkait pengajuan kasasi yang sedang dilakukan Sritex,” kata Okki kepada Tempo, Selasa, 29 Oktober 2024.
Seperti diketahui, saat ini Sritex bersama dengan PT Sinar Pantja Djaja, PT Primayudha Mandirijaya, dan PT Bitratex Industries yang tergabung sebagai Grup Sritex telah menunjuk kuasa hukum dari kantor hukum Aji Wijaya & Co. Advokat dari kantor hukum tersebut akan mewakili Grup Sritex dalam melakukan upaya hukum kasasi terhadap Putusan Pembatalan Homologasi.
Pada laporan keuangan konsolidasi per 30 Juni 2024, Sritex memiliki total liabilitas sebesar US$ 1.597.894.876 atau sekitar Rp 25 triliun. Liabilitas tersebut didominasi liabilitas jangka panjang sebesar US$ 1.466.477.101 atau sekitar Rp 23 triliun.
Tanggungan finansial jangka panjang Sritex didominasi utang bank sebesar US$ 809.994.386 atau Rp 12,7 triliun. BNI tercatat menjadi bank penyalur kredit dengan jumlah terbesar kesebelas dari 28 kreditur perbankan yang ada.
Kendati begitu, Okki menyatakan operasional BNI tidak terpengaruh oleh kondisi yang dialami Sritex. Ia menerangkan BNI memiliki rasio pencadangan yang cukup kuat dan terbukti telah berhasil menjaga kualitas aset lebih baik dengan rasio loan at risk turun dari 14,4 persen menjadi 11,8 persen pada periode sembilan bulan hingga September 2024.
Selain itu, angka non performing loan (NPL) BNI juga turun menjadi 2 persen pada sembilan bulan pertama 2024, turun 0,3 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya. “Dengan prinsip yang prudent, kami meyakini risiko yang mempengaruhi laba perseroan akan terbatas,” kata Okki.
Pilihan editor: Menhub Targetkan Harga Tiket Pesawat Turun sebelum Nataru