TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X memerintahkan bupati/wali kota di wilayah itu membuat regulasi yang lebih efektif dan relevan untuk memberantas peredaran minuman keras atau miras.
Belakangan, isu miras kembali ramai disorot berbagai elemen massa di Yogyakarta karena dianggap sebagai satu sumber pemicu maraknya kekerasan jalanan yang terjadi. "Kami sudah memiliki kesepakatan memakai langkah-langkah strategis untuk menekan peredaran minuman keras, karena keluhan masyarakat sudah demikian besar," kata Sultan di Yogyakarta, Selasa, 29 Oktober 2024.
Awal pekan ini, Raja Keraton Yogyakarta itu telah memanggil seluruh bupati/walikota di DIY membahas persoalan peredaran miras. Terutama miras ilegal. Dalam kesempatan itu, Sultan menyoroti agar tiap kepala daerah yang memiliki kewenangan agar bisa menerbitkan regulasi yang lebih efektif menekan peredaran miras.
Sultan meminta dalam sepekan ke depan sudah ada regulasi itu di tingkat kabupaten/kota. "Bupati/walikota ini perlu membuat regulasi yang lebih relevan soal miras, karena Perda (peraturan daerah) yang ada saat ini sudah tak relevan, misalnya tidak mengatur soal penjualan secara daring (online)," kata Sultan. "Kita harus atur juga (penjualan miras) untuk online, karena ketika penjualannya online artinya bisa dijual ke mana-mana, sampai ke desa-desa," tambahnya.
Sultan membeberkan, dengan adanya regulasi baru soal peredaran miras ini, ada dasar hukum lebih kuat. Yang bisa digunakan aparat perangkat daerah untuk menindak para penjual miras tersebut. "Terutama mereka yang ilegal bisa kami tutup, karena dengan online ini penjual bisa beroperasi walau tanpa ijin, kepada siapapun," ujarnya. "Jadi saya mohon untuk minggu ini, sudah ada aturan soal miras ini entah dalam bentuk surat edaran bupati/wali kota terutama yang mengatur penjualan secara online," lanjut dia.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (PP) DIY, Noviar Rahmad, menuturkan, saat ini yang menjadi permasalahan dalam upaya penindakan diantaranya penjualan atau pembelian miras ilegal secara daring atau dibawa pulang.
Ia menuturkan hasil monitoring pihaknya, ada ratusan tempat penjualan miras ilegal di Yogyakarta. "Yang ilegal cukup banyak, skala kecil ada ratusan titik, sedangkan yang resmi atau legal ada sekitar 21 tempat saja," kata Noviar.
Pemerintah daerah, kata Noviar, umumnya masih mengacu regulasi lama. Yakni Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1953 tentang pengawasan minuman beralkohol. Selain itu, penindakan juga mengacu Perda Nomor 12 Tahun 2015 serta Perda Nomor 2 Tahun 2017 tentang ketertiban umum khususnya tertib perizinan.
Aturan ini dinilai tak relevan karena belum mengatur soal penjualan secara daring. Selain itu, ancaman hukuman di dalam Perda lama itu maksimal hanya 6 bulan dan denda Rp 50 juta. Padahal, biasanya, hukuman yang dikeluarkan pengadilan lebih rendah sehingga pengedar merasa tidak takut atau jera jika terjerat. Adapun aturan yang lebih relevan dengan menjerat melalui penggunaan Undang-Undang (UU) Pangan yang menerapkan hukuman denda hingga miliaran rupiah.
Pilihan editor: Prabowo Ingin Tingkatkan Pembangunan di Papua, Menteri Transmigrasi: Tidak Harus Mendatangkan Orang dari Luar