TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA) mencatat impor baja dari Cina dalam beberapa tahun terakhir melonjak signifikan. Dari 2,89 juta ton pada 2022, volume impor meningkat menjadi 4,15 juta ton pada 2023 atau naik sebesar 43,4 persen. Sedangkan pada semester I 2024, impor baja dari Negeri Tirai Bambu itu meningkat dari 2,23 juta ton menjadi 2,98 juta ton atau naik sebesar 34 persen secara tahunan.
Direktur Eksekutif IISIA, Widodo Setiadharmaji, mengatakan impor besar-besaran ini menunjukkan adanya praktik dumping baja dari Cina. Praktik ini diduga tak hanya menyasar Indonesia, tapi juga pasar internasional.
IISIA mencatat volume ekspor baja Cina di dunia meningkat dari 66,38 juta ton pada 2023 menjadi 92,28 juta ton atau naik sebesar 39 persen. "Ekspor baja Tiongkok telah menunjukkan peningkatan yang menghawatirkan," ucap Widodo saat dihubungi Tempo, Ahad, 6 Oktober 2024.
Ia mengatakan, indikasi dumping baja dari Cina dapat dilihat dari kebijakan bea masuk antidumping (BMAD) yang diterapkan Indonesia ke produk-produk baja Cina 1997 untuk produk hot rolled coil. Dari sekian banyak bea masuk antidumping produk baja yang dikenakan Indonesia, dia mengatakan mayoritas menyasar produk-produk dari Cina.
Kendati telah menerapkan berbagai pembatasan impor, Widodo mengatakan proteksi Indonesia masih lemah. Indonesia saat ini baru menggunakan instrumen trade remedies sebanyak 34 antidumping dan 11 safeguard. Beberapa di antaranya memiliki masa berlau yang telah atau akan habis. Sedangkan antidumping untuk empat produk saat ini masih dalam peninjauan ulang (sunset review).
"Indonesia akan menghadapi banjir produk baja dumping dari Tiongkok dengan harga sangat rendah yang mengakibatkan produsen nasional kehilangan pasar domestik dan merugi serta akan bangkrut jika tidak ada perlindungan pemerintah segera," kata Widodo.
Indonesia pertama kali mengenakan bea masuk antidumping pada 1997 untuk produk hot rolled coil. Antidumping dengan besaran 30 persen ini berlaku selama lima tahun. Kemudian pada 2006, pemerintah menginisiasi bea masuk baru untuk produk hot rolled coil dari Cina dengan besaran yang bervariasi antara 0-20 persen.
Menurut Widodo, bea masuk ini hingga kini masih berlaku. Bahkan, pemerintah sedang mealakukan sunset review untuk memperpanjang kebijakan tersebut.
Pada 2009, Indonesia juga menginisiasi penyelidikan antidumping untuk I & H section dengan besaran bea masuk sebesar 6,63-11,93 persen, yang masih berlaku hingga saat ini dan dalam status sunset review.
Selanjutnya pada 2010, pemerintah menerapkan antidumping untuk produk hot rolled plate dengan bea masuk sebesar 10,47 persen yang saat ini masih berlaku dan dalam proses sunset review. Pada 2011, Indonesia menginisiasi penyelidikan antidumping untuk produk cold rolled coil/sheet dengan bea masuk berkisar antara 13,6-43,5 persen, yang berlaku selama tiga tahun sejak 2013.
Penyelidikan terhadap produk baja Negeri Panda terus berlanjut hingga 2012 untuk produk tinplate. Pemerintah saat itu mengenakan bea masuk sebesar 6,1-7,4 persen yang saat ini masih berlaku dan dalam status sunset review.
Pada 2016, pemerintah menerapkan antidumping untuk produk steel wire rod yang berlaku selama tiga tahun sejak 2018 dengan besaran berkisar antara 10,2-13,5 persen. Inisiasi terbaru terjadi pada 2020 untuk produk hot rolled coil alloy, dengan bea masuk yang berkisar antara 8,6-50,2 persen, dan berlaku selama lima tahun sejak 2022.
Pilihan Editor: Menolak Aplikasi Temu Masuk Indonesia, Pengusaha Konveksi: Bisa Merusak Pasar Lokal