TEMPO.CO, Jakarta - Gempuran konsesi tambang nikel di Halmahera Tengah sudah melewati batas daya dukung lingkungan di daerah itu. Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) memprediksi akan ada 16 ribu hektar wilayah yang akan terdampak banjir jika produksi nikel tidak dikurangi.
Semua wilayah konsesi nikel, kata Koordinator AEER Pius Ginting, juga mencakup wilayah daerah aliran sungai (DAS) yang jumlahnya mencapai 299 DAS. "Saat ini yang dieksploitasi dari total wilayah konsesi belum mencapai 50 persen, tapi dampak kerusakan lingkungannya sudah separah ini," kata Pius.
Pius mengatakan 90 persen konsesi tambang nikel merupakan wilayah DAS. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.736,56 hektar atau sekitar 42 persen dari luas Halmahera Tengah. Adapun luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 hektar.
Pius menambahkan, dari total luas konsesi itu, terdapat 82.399 hektar DAS yang mendesak untuk dipulihkan. Kerusakan DAS tersebut tidak hanya berpotensi memicu banjir bandang, tapi juga mengancam sumber air bagi ribuan warga Halmahera Tengah.
Menurut pegiat lingkungan dari komunitas Fakawele yang berbasis di Halmahera Tengah, kerusakan lingkungan dan tercemarnya sungai tidak sebanding dengan nilai investasi di pertambangan nikel. Supriyadi menilai kehadiran industri nikel di kampung halamannya lebih banyak mendatangkan bencana daripada keuntungan dari segi ekonomi.
"Memang ada perputaran ekonomi karena ada pabrik, tetapi itu hanya dimanfaatkan oleh mereka yang bekerja di perusahaan. Sedangkan penduduk lokal yang tidak bekerja di tambang merasakan dampaknya," kata Supriyadi kepada Tempo usai diskusi di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2024.
Supriyadi mengakui sulit menghentikan aktivitas tambang nikel yang sudah menggurita di Halmahera Tengah. Namun, Supriyadi menekankan perlunya aktivitas penambangan yang terukur dan memenuhi standar lingkungan yang ketat "Peran pemerintah dalam pengawasan dan memberi sanksi kepada perusahaan tidak berjalan di sana," ujarnya.
Dia mengatakan yang terjadi di lapangan justru banyak perusahaan yang abai terhadap dampak lingkungan. Selain melakukan deforestasi yang memicu banjir, aktivitas industri nikel juga mencemari laut. "Apakah benar nikel merupakan sumber energi ramah lingkungan sedangkan cara memperolehnya justru malah merusak alam, mencemari air, mencemari udara," ujarnya.
Kehadiran industri nikel tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, tapi juga pada kaum perempuan. Cerita perjuangan perempuan berhadap-hadapan dengan pertambangan nikel disampaikan oleh Rifly, 24 tahun, yang juga datang dari Halmahera Tengah.
Rifly, 24 tahun, pegiat lingkungan yang mewakili kaum perempuan Halmahera Tengah, mengatakan tambang nikel membikin aktivitas ekonomi dan kegiatan domestik terganggu. Perempuan, yang dulunya sangat bergantung pada sungai untuk sumber air, kini mesti kesulitan untuk mengakses air bersih.
"Untuk minum dan memasak harus beli air," kata Rifly dalam diskusi yang diselenggarakan AEER di Jakarta, Rabu, 28 Agustus 2024.
Tercemarnya laut akibat aktivitas industri nikel membuat wilayah tangkap nelayan semakin jauh ke tengah.
"Dulu kami hidup dari hasil nelayan, dari pala, cengkeh. Tapi setelah pabrik nikel masuk, semuanya menjadi sulit," ujar Rifly.
"Sungai kini tercemar, air mesti beli, udara kotor dan investasi terus yang diusung kemana-mana," ia melanjutkan.
Pilihan Editor: Dulu Jokowi Kritik E-commerce Asing, Kini Kaesang Diduga Dapat Fasilitas Jet Pribadi Bos Shopee