TEMPO.CO, Jakarta - Sejak berlakunya Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024, sebagian besar kampus negeri di Indonesia menaikan tarif uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru. Regulasi ini memberi ruang bagi kampus untuk menambah tingkatan level UKT yang mengacu pada penetapan Biaya Kuliah Tunggal di masing-masing program studi. Sejumlah kampus mematok tarif UKT hingga belasan juta.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bima Yudhistira, mengatakan kenaikan UKT menyebabkan inflasi pada sektor pendidikan kian tinggi. "Kenaikan itu juga akan berdampak terhadap penurunan daya beli kelas menengah," kata Bima melalui keterangan tertulis, Rabu, 14 Agustus 2024.
Bima menjelaskan mengapa kelas menengah jadi kelompok paling terdampak kenaikan UKT. Hal itu terekam dalam peningkatan indeks harga produsen (IHP) sektor jasa pendidikan pada triwulan II 2024 yang naik 7,9 persen secara tahunan. Kenaikan IHP itu terjadi ketika Permendikbud 2/2024 diberlakukan.
"Ini menunjukkan bahwa sudah terdapat peralihan beban pelaku jasa pendidikan yang dibebankan kepada konsumen, salah satunya mahasiswa atau orang tua mahasiswa," kata Bima. Kenaikan IHP sektor jasa pendidikan jauh lebih tinggi dibanding sektor usaha lain yang mengalami inflasi 0,01 persen year-on-year dibanding triwulan II tahun 2023.
Berkaca kepada tren IHP yang meningkat, Bima menilai pemerintah seharusnya menanggung pembiayaan pendidikan tinggi secara penuh. Bukan membebankan kenaikan biaya operasional kepada mahasiswa.
Lebih lanjut, Bima mengatakan kenaikan biaya kuliah semakin menambah beban kelas menengah di Indonesia. Selain tingginya uang kuliah, kelas menengah juga dihadapkan pada kenaikan harga pangan, suku bunga tinggi dan sempitnya lapangan pekerjaan di sektor formal.
Menurut Bima kenaikan biaya UKT akan terus menggerus jumlah kelas menengah Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, kelas menengah berkurang sebanyak 8 juta. Saat ini 82 persen konsumsi rumah tangga di Indonesia masih bergantung kepada kelas menengah. "Menyusutnya kelas menengah menjadi alarm bahwa setiap inflasi biaya pendidikan berdampak terhadap daya beli kelompok menengah," kata Bima.
Bima menilai sudah saatnya pemerintah mensubsidi biaya kuliah dan mencegah praktik komersialisasi pendidikan tinggi. Menurut dia kondisi pendapatan orang tua mahasiswa perlu menjadi pertimbangan utama dalam formulasi biaya perguruan tinggi.
Orang tua mahasiswa di kelompok pengeluaran menengah dan menengah rentan juga tertekan oleh tarif PPN 11 persen dan ekspektasi tarif PPN menjadi 12 persen diberlakukan tahun 2025. "Pemerintah sebaiknya menimbang ulang perubahan komponen biaya pendidikan karena momentum yang tidak pas,” jelasnya.
Pilihan editor: Ketergantungan Beras Impor Meningkat, Indef: Swasembada Pangan Sulit Tercapai