TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X angkat bicara soal ramai kabar pengakuan karyawan pabrik tekstil berstatus perusahaan BUMN di Sleman Yogyakarta yang dirumahkan tanpa kejelasan gaji.
Karyawan itu mengaku sudah dirumahkan satu bulan lebih tanpa gaji sehingga terpaksa harus pontang-panting mencari penghasilan lain di luar.
Belum diketahui pasti kondisi perusahaan yang telah menghentikan operasionalnya sejak Juni lalu itu hingga merumahkan karyawannya. Belakangan terungkap, perusahaan tekstil berstatus BUMN di Sleman itu PT Primissima (Persero).
"PT Primissima itu seperti hidup segan mati tak mau, itu sudah dari dulu (persoalannya), tidak pernah selesai," kata Sultan HB X, Selasa, 9 Juli 2024.
Sultan menjelaskan, sekitar 7-8 tahun silam Pemerintah DIY sudah pernah mencoba menawarkan diri untuk mengelola PT Primissima menjadi Badan Usaha Milik Daerah atau BUMD. Namun upaya itu tak membuahkan hasil.
Dengan kondisi kinerja usaha BUMN kini yang diketahui stop produksi dan merumahkan karyawan itu, ujar Sultan, Pemda DIY tak berani lagi menawarkan diri untuk mengelola perusahaan itu sebagai BUMD.
"Kami tidak berani untuk nawar lagi (perusahaam BUMN itu) menjadi bagian dari BUMD seperti 7-8 tahun lalu. Karena kalau dengan situasi begini diambilalih, saya pusing juga," kata Sultan.
Sultan pun berharap, apapun persoalan perusahaan BUMN itu, jangan sampai yang dikorbankan karyawan.
"Jangan sampai karyawan yang dirugikan," kata dia.
Adapun Ketua Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) DIY Dani Eko Wiyono yang mendampingi para pekerja pabrik tekstil itu mengungkap, ada 15 karyawan yang di PHK sejak November 2023 dan sekitar 500-an pekerja dirumahkan oleh manajemen perusahaan itu sejak 1 Juni 2024 lalu tanpa gaji.
"Saat ini hanya ada bagian sekuriti (keamanan) di sana yang berjaga," kata Dani.
Adapun untuk karyawan yang di PHK, kata Dani, telah mendapatkan pencairan pertama atau 30 persen dari nilai total pesangonnya pada 6 April 2024 lalu. Setelah itu mandeg alias belum jelas lagi pelunasannya.
Dari penelusuran serikat buruh, pemicu kolapsnya perusahaan BUMN itu hingga melakukan PHK dan merumahkan karyawan karena persoalan internal keuangan perusahaan.
"Masalah keuangan perusahaan itu yang diduga kacau, kami tidak tahu apakah dari sisi pemasaran atau produksinya, namun diduga banyak terjadi kebocoran," kata dia.
Persoalan keuangan perusahaan yang tak kunjung tuntas itu yang diduga kuat membuat manajemen mengambil langkah merumahkan karyawan dan menghentikan seluruh operasional perusahaan itu sejak awal Juni lalu.
"Sebelum Juni sendiri masih ada aktivitas operasional di perusahaan itu," kata dia.
Adapun Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sleman Yogyakarta Sutiasih menuturkan dari laporan yang ia terima, perusahaan BUMN itu memang telah melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK terhadap 15 karyawan di luar ratusan karyawan yang kini statusnya dirumahkan.
"Untuk karyawan yang dirumahkan belum dilakukan PHK, statusnya masih hubungan kerja," kata Sutiasih Selasa.
Sutiasih membeberkan, pihaknya sudah berupaya melakukan mediasi antara karyawan dan manajemen perusahaan itu. Agar karyawan mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja sesuai ketentuan berlaku.
"Langkah konsultasi, bipartit sampai mediasi hingga berakhir dengan kesepakatan-kesepakatan sudah kami lakukan, tapi soal hak-hak (pesangon dan gaji) pekerja belum bisa dipenuhi PT Primissima karena belum ada dana," kata Sutiasih.
Menurut Sutiasih segala kewenangan terkait perusahaan itu saat ini sudah diambilalih PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA). Sehingga manajemen di Yogyakarta tak bisa mengambil keputusan.
Pilihan Editor: Buruh dan Pengusaha Tekstil Bandung Desak Pemerintah Berantas Mafia Impor