Dengan banyak stok produk dari Cina masuk ke Indonesia, barang-barang itu, kata Redma, masih dijual dengan harga produksi. "Sekarang kami bilang mereka menjual barang di bawah harga barang baku," kata Redma.
Menurut dia, dampak lainnya adalah stok dari Cina kebanyakan masuk secara ilegal. Bahkan ada produk tekstil dari Cina, kata dia, yang masuk atau diimpor ke Indonesia tanpa bea masuk. "Itulah yang menghantam industri kita dalam dua tahun terakhir ini," ucap dia.
Keterpurukan itu mengancam pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan di dunia industri. Redma mengatakan, PHK besar-besaran terjadi pada 2024. Pada 2022-2023, trennya adalah pengurangan karyawan, karena produksi barang berkurang. "Yang paling parah sekarang," ujar dia.
Redma mengatakan, saat industri tekstil diterpa oleh krisis dan salah satu cara bertahan adalah menurunkan jumlah produksi. Saat stok produksi menurun, maka karyawan yang dibutuhkan pun berkurang. "Ada yang di-PHK, dirumahkan, ada yang jadwal kerjanya 6 hari menjadi 3 hari," kata dia.
Redma mencontohkan, kini terjadi pada salah satu perusahaan tekstil di Bandung, Jawa Barat. Awalnya, perusahaan itu memiliki 3.000 karyawan. Sejak 2023, setiap bulan perusahaan mengeluarkan pekerja. Terakhir pada Mei lalu, perusahaan memberhentikan 700 karyawan. "700 karyawan itu yang terakhir. Sekaligus pabriknya tutup," ucap dia.
Dia mengatakan, sepanjang 2023 terdapat 150 ribu karyawan industri tekstil dan garmen diberhentikan. Jumlah itu belum terhitung pemutusan hubungan kerja atau PHK pada industri kecil dan menengah. Adapun 150 ribu orang itu berasal dari industri besar dan menengah. "Itu yang melapor, banyak enggak melapor," ucap Redma.
Pilihan Editor: Menteri ESDM Pastikan Tarif Listrik per Juli Tak Naik, Ini Sebabnya