TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Transisi Bersih, Abdurahman Arum Rahman, menilai kebijakan penghiliran industri nikel yang digadang-gadang untuk mempercepat transisi energi bertolak belakang dengan program Indonesia bebas emisi 2060. Pasalnya industri hilirisasi nikel masih gunakan batu bara sebagai sumber energi utamanya.
Hal tersebut disampaikan Rahman saat memaparkan hasil riset terbaru “Transisi Bersih bertajuk Hilirisasi Nikel, Nilai Tambah Ekonomi dan Indonesia Bebas Emisi” di Jakarta, Kamis, 27 Juni 2024.
Rahman menjelaskan, saat ini pemerintah masih memberi karpet merah bagi industri penghiliran nikel untuk membangun PLTU batu bara. Sejak 2013, jumlah PLTU yang dibangun khusus untuk menyokong industri nikel meningkat pesat dari 1,4 gigawatt menjadi 10,8 gigawatt pada 2023. "Pemerintah masih akan mengizinkan pembangunan PLTU baru dalam waktu dekat dengan target 14,4 gigawatt," ujarnya.
Bila ditotal, akan ada PLTU berkapasitas 25,2 gigawatt menggunakan batu bara sebagai sumber energi industri nikel dan smelter. Jumlah itu setara 72 persen dari kapasitas total PLTU yang ada saat ini yaitu 34,8 gigawatt. Klaim pemerintah bahwa nikel bisa transisi energi terbarukan jauh panggang dari api.
“Program hilirisasi yang menggunakan energi batu bara tidak koheren dengan program bebas emisi. Ini seperti menguras air kolam, sementara pada saat yang sama mengisi kolam dengan air yang baru. Program hilirisasi dapat menggagalkan program bebas emisi yang berbiaya sangat mahal,” kata Rahman.
Peneliti senior Transisi Bersih, Widya Larasati, melihat peluang energi bersih dalam hilirisasi nikel akan memperkuat posisi Indonesia dalam industri nikel dunia. Dengan standar lingkungan yang tinggi, hal itu akan menggenjot biaya produksi nikel.
Widya menjelaskan bila pemerintah mencabut insentif, menggunakan energi bersih, menaikkan upah buruh, standar lingkungan hidup, dan ESG, itu mengakibatkan kenaikan biaya produksi nikel, maka pasar nikel dunia akan menyesuaikan. Terlebih saat ini 52 persen kebutuhan nikel dunia berasal dari Indonesia.
"Ini akan menaikkan nilai tambah ekonomi nikel di Indonesia. Dengan menggunakan energi bersih, hilirisasi justru akan membantu membiayai transisi energi di Indonesia," ujarnya.
Dia pun mendesak pemerintah agar mencabut insentif langsung atau tidak langsung hilirisasi nikel dan memaksimalkan standar lingkungan. Larasati mengatakan pemerintah tidak perlu takut kehilangan investasi. Dengan kebijakan tersebut nikel Indonesia bisa menjadi acuan nikel ‘bersih’ dunia.
"Dengan demikian isu negosiasi FTA (free trade agreement atau perjanjian perdagangan bebas) dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa akan dapat segera diselesaikan,” kata Widya.
Pilihan Editor: Rugi Rp 1,8 Triliun, Bos Kimia Farma Beberkan Penyebabnya