TEMPO.CO, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah di hadapan dolar AS belakangan ini. Disinyalir beberapa faktor menjadi penyebab melorotnya rupiah, diantaranya naiknya harga material hingga kebutuhan untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menanggapi keadaaan ini, pengamat ekonomi keuangan dari Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menganjurkan masyarakat yang memiliki dana lebih untuk tetap berinvestasi.
“Ini memang pilihan, tergantung persepsi risiko masing-masing. Kalau berani risiko, investasi saham dan investasi lain,” kata Abdul Manap Pulungan di Kabupaten Badung, Bali, Kamis, 20 Juni 2024.
Ia beranggapan saham blue chip atau saham yang memiliki kapitalisasi pasar besar dengan harga rendah potensial untuk dilirik oleh masyarakat serta bagi calon investor perorangan untuk lebih memikirkan secaa matang mengenai saham dalam jangka yang panjang yakni lima hingga 10 tahun.
“Yang ideal itu memang membeli saham sewaktu (harga) turun saat ini, nanti dijual 5-10 tahun mendatang. Jangan dijual saat naik cuma lima persen, itu sama dengan trading bukan investasi,” katanya.
Selain blue chip ia juga menyarankan masyarakat untuk membeli emas apabila ingin berinvestasi jangka panjang yaitu diatas 10 tahun. Saat ini harga per gram emas Antam sebesar Rp1.355.000 yang berpotensi jadi pilihan untuk investasi jangka panjang.
Selain itu ia menyarankan untuk sejumlah dana yang dimiliki bisa untuk membeli properti atau tanah berupa sawah atau perkebunan. Inevstasi di Surat Utang Negara (SUN) atau Surat Berharga Negara (SBN) yang minim risiko bisa menjadi pilihan investasi oleh masyarakat. Walaupun profit yang dihasilkan tidak dalam berjumlah banyak, namun cukup memberikan efek merasa terjamin di masyarakat.
“Secara psikologis, pendapatan masuk ke rekening dari SBN. Secara tidak langsung, walau pun kecil (imbal hasil), sebenarnya ada dampak psikologis, dari pada uang ditempatkan di rekening yang tidak menghasilkan apa-apa,” katanya.
Sementara Analis Pasar sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuabi, menganggap pelemahan rupiah ini sebagai aktivitas anomali. Ia beralasan, hingga Mei lalu, Indonesia masih mengalami surplus perdagangan dalam nilai positif.
“Sebenarnya rupiah tidak perlu mengalami pelemahan yang panjang jika pasokan dolar dari surplus neraca perdagangan mengalir ke pasar,” kata Ibrahim melalui keterangan tertulis, Jumat, 21 Juni 2024.
Ibrahim pun menyarankan pemerintah dan Bank Indonesa untuk menjaga stabilitas nilai rupiah dengan menjaga kekuatan perekonomian Indonesia. “Hal itu, yakni surplus neraca perdagangan, bukan intervensi valuta asing (valas) dengan cadangan devisa yang terbatas atau menaikkan suku bunga domestik,” tutur Ibrahim terkait langkah mengakhiri rupiah melemah.
AULIA SABRINI SARAGIH | RIRI RAHAYU | ANTARANEWS
Pilihan editor: Rupiah Melemah Nyaris Rp 16.500 per 1 US Dollar Disebut Terendah Sejak Krisis Moneter 1998, Ini Kilas Baliknya