TEMPO.CO, Jakarta - Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menanggapi kritik publik terhadap instansi di bawah Kementerian Keuangan, yakni Direktorat Jenderal Bea Cukai belakangan ini.
"Otoritas kepabeanan bak berada di kursi pesakitan," kata Kepala Riset CITA, Fajry Akbar, dalam keterangan resminya pada Selasa, 7 Mei 2024.
Dia menjelaskan, dua pekan terakhir publik ramai-ramai menghakimi Ditjen Bea Cukai karena dianggap menyulitkan masyarakat yang bepergian keluar-masuk negara. Masyarakat menyoroti prosedur ekspor-impor serta aturan mengenai barang bawaan, barang kiriman, atau barang hibah.
Ramai kasus yang muncul itu mulai dari penerapan denda yang lebih besar dari nilai barang dalam kasus sepatu impor, keterlambatan penerimaan dan kerusakan mainan action figure milik influencer Medy Renaldy, hingga alat bantu belajar tunanetra berstatus hibah untuk SLB-A Tingkat Nasional yang tertahan selama dua tahun di Bea Cukai.
"Beragam isu ini memicu tumbuhnya sentimen negatif yang lebih besar terhadap Bea Cukai," ucap Fajry.
Padahal, kata dia, citra otoritas kepabeanan belum sepenuhnya pulih setelah pejabatnya yakni Eko Darmanto dan Andhi Pramono ditahan dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Atas hal tersebut, lanjut Fajry, CITA memberikan beberapa pandangan.
"Kami melihat kritik publik terhadap otoritas kepabeanan sebagian besar dapat diterima," kata Fajry.
Dia menuturkan, kritik memang diperlukan untuk membangun birokrasi yang lebih baik. Meski begitu, kritik publik juga harus proporsional.
Menurut Fajry, otoritas kepabeanan memiliki peran besar dalam ekonomi perihal arus barang antar yurisdiksi. Oleh sebab itu, Bea Cukai terlalu besar untuk dibekukan atau bahkan dibubarkan.
"Publik salah jika melihat otoritas kepabeanan hanya sebagai revenue collector, yakni mengoptimalkan penerimaan negara," ujar Fajry.
Dia menjelaskan, Bea Cukai juga memiliki fungsi utama lain, yakni sebagai: trade facilitator untuk menekan biaya tinggi dari perdagangan internasional sehingga Indonesia mempunyai daya saing ekonomi; industrial assistance untuk mendukung industri dalam negeri agar dapat bersaing di pasar global; community protector dengan memberikan perlindungan untuk masyarakat dari barang-barang yang dilarang seperti narkoba.
"Semenjak era perdagangan bebas, penerimaan kepabeanan tidak lagi menjadi sumber penerimaan utama dari DJBC," kata Fajry.
Dia membeberkan, menurut data anggaran pendapatan dan belanja negara alias APBN 2024, kontribusi penerimaan kepabeanan dalam perpajakan hanya 3,24 persen. Bagi Bea Cukai, ujar Fajry, kontribusi penerimaan kepabeanan hanya 23,34 persen di mana sisanya dari penerimaan cukai.
"Masalah utama dalam keriuhan beberapa minggu terakhir adalah kepercayaan publik," ungkap Fajry.
Dia lalu menyinggung Kemenkeu bahwa membangun kepercayaan publik tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sebab, butuh proses dan waktu yang panjang.
Menurut Fajry, membangun kepercayaan publik tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi publik, tapi perlu perubahan nyata. Misalnya lewat perbaikan pelayanan, meningkatkan pengawasan internal agar tidak ada oknum-oknum nakal, serta perbaikan birokrasi dan administrasi agar mencegah penyelewengan.
"Betul, dalam hukum terdapat adagium Ignorantia juris non excusat yang artinya ketidaktahuan akan hukum tidak membenarkan siapa pun. Namun otoritas wajib melakukan sosialisasi," kata Fajry.
Oleh sebab itu, dia menilai para petugas di lapangan perlu memberikan informasi lengkap mengetahui ketentuan yang berlaku. Terlebih, banyak masyarakat umum yang mengimpor barang kiriman sebagai dampak dari digitalisasi.
Fajry juga menyebut perlu kemudahan regulasi terutama yang mengatur soal persyaratan. Selain itu, kata dia, perlu evaluasi besaran bea masuk dan sanksi.
Dia menyebut, keriuhan publik terjadi karena besaran kepabeanan dan sanksi atas PDRI (pajak dalam rangka impor) yang ditanggung masyarakat tidak sebanding dengan nilai impor. Menurut Fajry, perlu perubahan paradigma bahwa sanksi yang besar akan membuat orang patuh.
"Kedua, perlu mengevaluasi tarif terkait PDRI terutama besaran tarif PPh 22 Impor yang naik drastis dalam satu dekade terakhir, serta tarif bea masuk atas beberapa produk yang naik dalam beberapa waktu terakhir," ujar Fajry.
Terakhir, kata dia, koordinasi antar kementerian dan lembaga menjadi penting. Sebab, ketentuan barang kiriman tidak hanya ranah otoritas kepabeanan, tapi juga Kementerian Perdagangan maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM.
Pilihan Editor: Terkini: Pesan Jokowi ke Bos Apple dan Microsoft hingga Kisruh Penutupan Pabrik Sepatu Bata