TEMPO.CO, Jakarta - Tiktokers dengan nama akun @awbimax atau yang dikenal dengan nama Bima, membagikan ceritanya saat ditawari membuat video endorsement untuk instansi pemerintah di bidang kepabeanan, Bea Cukai.
Melalui unggahan di akun TikTok pribadinya, Bima membagikan tangkapan layar berisi pesan dari salah satu agensi yang mengajaknya untuk bekerja sama. Agensi tersebut mengaku telah bekerja sama dengan Bea Cukai dan mengajak Bima untuk membuat video berupa kampanye yang berhubungan dengan Bea Cukai.
“Saat ini agency kami sedang ada campaign bersama dengan lembaga Bea Cukai. Campaign ini bukan seperti buzzer, lebih ke bagaimana POV (point of view) dari seorang KOL terkait pengalaman mereka yang berhubungan dengan Bea Cukai,” tulis agensi itu dikutip dari unggahan TikTokers Bima.
Tiktokers asal Lampung yang viral karena kerap mengkritik pemerintah itupun menanggapi tawaran tersebut dengan mematok bayaran Rp 100 juta per video TikTok. Namun, Bima mengungkapkan tidak ada tanggapan lebih lanjut dari agensi itu terkait kerja sama tersebut.
Dalam unggahan videonya yang lain, Bima menyebutkan alasannya mematok harga selangit itu. Ia tidak ingin menjadi pembohong karena harus berbicara testimoninya tentang Bea Cukai menggunakan skrip yang dibuat oleh agensi.
Pemuda yang kini berkuliah di Australia itu mencurigai tindakan Bea Cukai yang menunjuk para sosok berpengaruh di media sosial untuk membersihkan citra instansi pemerintah yang belakangan jadi sorotan publik. Apalagi, katanya, agensi yang ditunjuk Bea Cukai ini untuk brand awareness, bukan untuk crisis communication.
“Lu pade semua agensi lu, termasuk Bea Cukai, jangan jadi penipu. Lu minta gue review jujur bisa sih, Kak. Oh, berdasarkan hasil review dari temen-temen yang lain, Bea Cukai ini isinya korupsi. Kandang korupsi,” ucap Bima dalam video yang diunggahnya beberapa hari lalu.
Sebagai informasi, beberapa waktu terakhir media sosial Indonesia ramai-ramai menyoroti kinerja institusi Bea Cukai. Hal ini terjadi usai mencuatnya sejumlah permasalahan terkait pajak impor yang dikenakan lembaga tersebut kepada masyarakat.