TEMPO.CO, Jakarta - Guru besar filsafat STF Driyarkara, Franz Magnis Suseno, terlibat adu argumen dengan anggota Tim Pembela Prabowo-Gibran, Hotman Paris Hutapea, seputar bansos Jokowi di sidang sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa, 2 April 2024.
Awalnya, Franz Magnis yang menjadi saksi Ahli dari Kubu Ganjar Pranowo-Mahfud Md. mengungkapkan enam poin pelanggaran etika dalam Pilpres 2024.
Pertama, pengesahan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Franz mengatakan, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai pendaftaran Gibran sebagai cawapres adalah pelanggaran etika berat.
"Penetapan seseorang sebagai calon wakil presiden—yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat—juga merupakan pelanggaran etika berat," ucap Franz.
Kedua, keberpihakan Presiden Jokowi dan penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Franz, Jokowi boleh saja memberi harapan kemenangan pada salah satu calon.
"Tapi begitu dia memakai kekuasaannya untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain guna mendukung salah satu paslon, serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan dalam rangka memberikan dukungan kepada paslon, ia melanggar tuntutan etika," kata Franz.
Ketiga, nepotisme. Franz menilai, seorang presiden yang memakai kekuasaan yang diberikan oleh bangsanya untuk menguntungkan keluarganya sendiri adalah hal yang amat memalukan. Ini membuktikan dia tidak mempunyai wawasan seorang presiden yang mendedikasikan hidup 100 persen untuk rakyat. Melainkan, kata dia, hanya memikirkan diri sendiri dan keluarganya
Keempat, pembagian bantuan sosial alias bansos. Franz mengatakan, bansos bukan milik presiden, tapi milik bangsa Indonesia yang pembagiannya menjadi tanggung jawab kementerian bersangkutan dan ada aturan pembagiannya.
Dia mengibaratkan, presiden yang mengambil bansos untuk dibagi-bagi dalam rangka kampanye paslon tertentu, mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko.
"Jadi, itu pencurian ya pelanggaran etika. Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika," ujar Franz.
Terakhir, manipulasi-manipulasi dalam proses Pemilu yang jelas. "Kalau proses Pemilu dimanipulasi, itu pelanggaran etika berat karena merupakan pembongkaran hakikat demokrasi," kata dia.
Misalnya, ujar Franz, jika waktu untuk memilih diubah atau penghitungan suara dilakukan dengan cara yang tidak semestinya. Dia menyebut, paktik semacam itu memungkinkan kecurangan dan sama dengan sabotase pemilihan rakyat.
Tim kuasa hukum Prabowo-Gibran, Hotman Paris Hutapea saat mengikuti sidang perselisihan hasil Pilpres 2024 dengan pemohon calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa 2 April 2024. TEMPO/Subekti.
Pernyataan Franz ditanggapi pengacara top, Hotman Paris Hutapea. Ia mencecar Franz Magnis Suseno soal bantuan sosial atau bansos dengan mengatakan bahwa pemerintah telah membagikan bansos maupun perlindungan sosial (perlinsos) sebesar Rp 408 triliun pada 2021. Pada 2022, jumlahnya meningkat menjadi Rp 431 triliun.
"Apakah itu (bukan) pemerintah yang baik, yang membantu fakir miskin? Tadi kan bapak ngomong fakir miskin. Pada waktu itu enggak ada pemilu, tapi sudah 40 persen lebih bansos dan perlinsos," kata Hotman.
Kedua, Hotman menyoroti pernyataan Romo Magnis mengenai presiden yang mengambil uang bantuan sosial untuk dibagi-bagikan diibaratkan seperti pencuri di kantor. Hotman mengklaim, bansos yang sudah dibagikan adalah sesuai sasaran.
"Apakah Romo mengetahui bahwa bansos yang dibagikan itu sudah ada datanya berdasarkan DTKS (data terpadu kesejahteraan sosial) dan P3KE (pensasaran percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem)?" kata Hotman.
Pengacara ini menuturkan, bansos yang dibagikan adalah berdasarkan kedua data tersebut. Hotman menyebut presiden hanya membagikan bansos di awal sebagai hal simbolik. Pembagian lalu dilanjutkan kementerian yang berwenang.
"Dari mana Pak Romo tahu presiden itu seolah mencuri uang bansos untuk dibagi-bagikan? Padahal, Pak Romo tidak tahu praktik pembagian itu sudah ada data lengkapnya, yaitu namanya KPM (keluarga penerima manfaat)," ucap Hotman.
Anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud lantas memotong pernyataan Hotman. "Mohon izin majelis, karena ahli bukan ahli bansos," katanya.
Ketua MK Suhartoyo menanggapi bahwa pertanyaan pertama dari Hotman sudah bisa ditangkap. "Jangan diulang-ulang!" ujar dia.
Franz lalu menjawab pertanyaan Hotman dengan mengatakan bahwa yang disampaikannya adalah secara teoretis.
“Mengenai bansos, saya tidak mengatakan apa pun tentang yang dilakukan Presiden Jokowi. Saya mengatakan, kalau seorang presiden yang sebetulnya tidak mengurus langsung kementerian, mengambil bansos yang sudah disediakan di situ untuk kepentingan politiknya, maka itu pencurian. Apakah itu terjadi di Indonesia? Itu bukan urusan saya,” tutur pakar filsafat itu.
AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor Sidang Sengketa Pilpres: Ini yang Ingin Ditanya Timnas Amin kepada 4 Menteri