TEMPO.CO, Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah atau Walhi Sulteng menyayangkan penetapan dua tenaga kerja asing (TKA) Cina dalam kasus ledakan smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Diberitakan sebelumnya, ledakan di kawasan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) itu terjadi pada Minggu, 24 Desember 2023 dan menewaskan 21 pekerja.
"Menurut kami, hukum harusnya dikenakan ke manajemen atau perusahan. Mereka yang bertanggung jawab atas seluruh aktivitas kerja di dalamnya, termasuk nyawa pekerja," kata Kepala Departemen dan Advokasi Walhi Sulteng Aulia Hakim ketika dihubungi Tempo pada Jumat, 16 Februari 2024.
Pasalnya, Aulia mengatakan pekerja hanya bekerja atas instruksi atasan. Sementara itu, kata dia, temuan Walhi Kalteng di lapangan menunjukkan bahwa ledakan PT ITSS dipicu penggunaan oxy asetyline. Oxy asetyline merupakan las pembakaran C2H2 dengan O2 dari gas asetilin yang sangat kuat membelah besi logam dan baja.
"Ledakan terjadi karena gas asetilin terkontaminasi dengan cairan nikel setelah dinding tungku mengeluarkan cairan tersebut, yang masih sangat panas," ujar Aulia.
Penggunaan las asetilin itu, kata Aulia, juga disebabkan absennya pengawas dari petugas safety yang mestinya mengawasi berlangsungnya proses pekerjaan untuk meminimalisir risiko. Menurut pengakuan pekerja, Aulia menuturkan, ledakan smelter bisa dicegah jika ada pengawas safety karena mereka akan melarang penggunaan las asetilin.
Tak cuma absennya petugas safety, menurut Aulia pekerjaan perbaikan tungku juga dilakukan tanpa surat izin kerja dari supervisor. Padahal, dokumen izin tersebut didukung dokumen lain, seperti Job safety analysis (JSA) dan toolbox checklist ketika bekerja di areal yang memiliki risiko tinggi dan di ruangan terbatas.
"Kategori pada pekerjaan di smelter ialah Hot Work Permit dan Cold Work Permit. Jika dasar dokumen ini dipakai dalam prosedur pekerja maka las Oxy asetilin tidak digunakan," tutur Aulia.