TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah telah menerapkan kebijakan automatic adjustment alias pemblokiran anggaran belanja kementerian/lembaga pada 2024 sebesar Rp 50,14 triliun, di antaranya untuk bantuan sosial alias bansos. Apakah ini wajar?
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah menyatakan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) memang fleksibel dan memiliki mekanisme automatic adjustment jika diperlukan. Ini termasuk untuk kebutuhan bansos dan subsidi.
Jadi, kata dia, persoalannya bukan automatic adjusment. "Tapi urgensi dan justifikasi untuk realisasi anggaran bansos tak lama menjelang hari pemilihan, yang dananya ditambahkan dari keputusan automatic adjustment," ujar Ronny kepada Tempo, 9 Februari 2024.
Perkara wajar atau tidak wajar, lanjut dia, tergantung pada urgensinya. Ronny menilai belum ada urgensi untuk bansos, termasuk bantuan langsung tunai (BLT). Sebab, belum terdapat data inflasi minimal 2 bulan berjalan untuk dijadikan pembenaran ekonomi bahwa bansos diperlukan karena tekanan daya beli.
Selain itu, Ronny menyebut bansos biasanya disalurkan paling cepat Maret, bukan Februari. Ihwalnya, pada Maret dan April biasanya harga bahan pokok naik karena mendekati Ramadan dan Lebaran, sehingga terdapat tekanan daya beli, terutama terhadap masyarakat rentan dan miskin. Pada saat itu lah, menurut dia, bansos diperlukan.
"Nah, jika belum ada urgensinya tapi tiba-tiba ada bansos, maka akan dianggap tak wajar," ungkap dia.
Ia menilai automatic adjustment masih bisa diterima meskipun warning-nya terlalu dini. Menurut dia, warning pengetatan fiskal di awal tahun tentu tak wajar. Sebab jika tekanan ekonomi makin menguat pada pertengahan dan akhir tahun, bisa jadi anggaran yang diblokir lebih dari Rp 50,14 triliun.