TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi, menyebutkan masih rutin mengunjungi lokasi food estate di wilayah Sumatera Utara. Dari temuan di lapangan, ujar Delima, program food estate di sana dia anggap gagal.
Seperti food estate di kawasan food estate Kabupaten Humbang Hasundutan. Saat dia datang ke Desa Siria-Ria, Kecamatan Pollung yang menjadi wilayah food estate, kondisinya menyedihkan. "Kondisinya, menurut kami gagal karena dari penanam pertama 215 hektare. Sekarang yang dikelola hanya sekitar 10 persen atau 20 hektare," ungkapnya. Artinya, sekitar 80 hingga 90 persen lahan food estate itu terlantar. Ratusan hektare lahan tidak terurus, kata Delima, kini ditumbuhi ilalang liar.
Untuk sebagian kecil lahan yang masih ditanami, menurut Delima, statusnya kondisinya beragam. "Ada petani yang menanam dengan modal sendiri, ada juga yang bermitra dengan perusahaan," kata dia.
Lahan yang memakai skema dengan perusahaan, kata Delima, warga menggandeng perusahaan Taipei Economic and Trade Office (TETO). Luas lahan yang berkontrak perusahaan asal Taiwan itu sekitar 12,5 hektare. "Tapi ini belum menanam, masih kontrak dengan status sewa-menyewa," kata dia.
Untuk sistem sewa menyewa, kata Delima, salah satu yang masih bertahan yakni PT Champ yang mengelola sekitar 5 hektare lahan food estate. Ada juga lahan kentang, menurut Delima, yang bekerja sama PT Indofood yang luasnya hanya beberapa hektare. Perusahaan lain yang tidak tahan dengan kondisi di sana sudah jauh hari pergi. "Ada juga perusahaan yang sudah pergi, seperti PT Parna Raya."
Sistem kemitraan dengan perusahaan, kata Delima, berdasarkan pengakuan warga tidak menguntungkan secara ekonomis. Menurut dia, warga mengeluhkan tentang transparansi kontrak. Ia menjelaskan warga tidak mendapat informasi yang akurat tentang hasil panen. "Menurut masyarakat, perusahaan tidak melaporkan berapa hasilnya, selalu mengatakan rugi," ujar perempuan menerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2023 ini.
Apalagi, kata Delima, petani yang mengambil bibit untuk penanaman kembali harus membeli ulang dari perusahaan. Petani mengeluh karena bibit itu bakal terhitung sebagai utang. "Mereka bilang masa dari lahan kami sendiri, kami harus beli bibit. Ada penyusunan kontrak yang tidak transparan di awal, sehingga ketika itu berlakukan itu menurut masyarakat itu merugikan mereka," ungkapnya.
Delima mengenang kegagalan food estate bermula dari perencanaan yang buruk. Ketika tahun 2020, sertifikasi tanah bagi 80 pemilik lahan tidak melalui persiapan yang matang.
Menurut dia, pada tahap awal petani yang diminta menanam komoditi seperti bawang putih, bawang merah, dan kentang tidak mendapat pendampingan yang memadai. Ketika panen perdana, Delima menyebut pemerintah sempat mengklaim sebagai keberhasilan. "Namun oleh masyarakat dianggap gagal karena hasil panennya sedikit," ujarnya.
Tata kelola food estate makin kacau, kata Delima, ketika pemerintah kabupaten mewajibkan warga menjual hasil panen ketika itu ke Koperasi Usaha Bersama. Lembaga keuangan itu bentukan Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor.
Sistem kerja koperasi itu, menurut Delima, setiap hasil panen petani bakal dipotong sebesar 40 persen. Skema itu bakal dipakai 10 persen untuk keperluan operasional koperasi, sisanya 30 persen buat modal penanaman berikutnya atau modal bibit. "Parahnya pengelola koperasi bukan petani, tapi orang dari kabupaten, malah orang koperasinya kabur membawa uang simpanan petani," ungkapnya.
Petani yang menyerahkan seluruh hasil panennya ke koperasi, kata Delima, akhirnya tidak lagi memiliki modal buat menanam. Mereka ini pun kembali ke pertanian awal seperti kopi dan andaliman.
Kegagalan food estate di Sumatera Utara juga diakui oleh Wakil Bupati Humbang Hasundutan, Oloan Paniaran Nababan. Sebelumnya, Oloan mengaku miris dengan klaim keberhasilan proyek food estate atau lumbung pangan oleh pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Klaim tersebut disampaikan di banyak kesempatan, selain di forum debat calon presiden.
"Kami sebagai wakil bupati miris mendengarkan. Jadi di tempat kami ini ada namanya food estate. Food estate itu seharusnya hanya komoditi kentang, bawang merah, bawang putih, namun sekarang hampir tiga tahun ini tidak dipedulikan," kata Oloan melalui sambungan telepon dengan Tempo, Selasa, 23 Januari 2024.
Menurut Oloan, mandeknya food estate di wilayahnya tidak terlepas dari minimnya penganggaran, baik dari Kementerian Pertanian maupun dari pemerintah kabupaten. "Bersyukurnya kami sempat dapat pembangunan infrastruktur jalan, kurang lebih sekitar 10 kilometer dari jalan raya," kata dia.
Kegagalan food estate tidak hanya terjadi di Sumatera Utara. Food estate di Kalimantan Tengah juga gagal. Seperti food estate kebun singkong di Kabupaten Gunung Mas yang dikelola oleh Kementerian Pertahanan di bawah Prabowo Subianto. Ratusan hektare lahan di sana terlantar karena ternyata tanah tidak cocok untuk singkong. Padahal, untuk membuat lahan tersebut pemerintah membabat ratusan hektar hutan. Kini yang tersisa hanya kerusakan lingkungan. Pemukiman warga di desa sekitar lahan kebanjiran setiap musim hujan karena hutan telah rusak.
Belakangan pemerintah mengganti tanaman singkong dengan jagung. Penanaman jagung di sana juga terkesan dipaksakan karena jagung ditanam di dalam polybag, tidak langsung ditanam di tanah. Alhasil, meski jagung bisa tumbuh tapi membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal.
Kegagalan food estate juga sempat dipersoalkan oleh pasangan presiden-wakil presiden nomor urut 1 dan 2, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Pilihan Editor: Respons Gibran soal Beras Bulog Ditempeli Stiker Prabowo-Gibran: Nanti Saya Cari