Menurut dia, hal itu untuk kemandirian daerah itu sendiri dan pemerintah pusat tidak mengaturnya hingga tarif tetapnya. Sedangkan untuk tarif pajak hiburan khusus, diberikan batas bawah dan atas karena ada kata kunci tertentu.
“Ada yang harus dikendalikan, maka supaya tidak berlomba-lomba milih tarif paling bawah, padahal ada yang perlu diatur tertentu maka diberikan batas bawahnya 40 persen,” ucap Lydia.
Ia menegaskan pajak barang dan jasa tertentu atas jasa kesenian dan hiburan adalah pajak daerah. UU HKPD memberi kewenangan atau diskresi kepada daerah untuk menetapkan dan menyesuaikan tarif pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan kondisi perekonomian di wilayah masing- masing. Termasuk menetapkan tarif pajak barang dan jasa tertentu atas jasa hiburan tertentu dengan tarif 40-75 persen buat diskotek.
“Selain itu, UU HKPD juga mengatur kewenangan Pemda untuk memberikan fasilitas berupa insentif fiskal guna mendukung kemudahan berusaha dan berinvestasi di wilayah masing-masing sesuai amanah pasal 101 UU HKPD,” tutur Lydia.
Sebelumnya banyak pengusaha hiburan mengeluh dan memprotes rencana pengenaan pajak hiburan hingga 75 persen oleh sejumlah pemerintah daerah. Salah satunya Inul Daratista, pemilik karaoke Inul Vizta, yang memprotes pengenaan tarif pajak tersebut. Menurut dia, tarif tersebut akan membunuh industri hiburan karena pajak itu mau tak mau akan dibebankan ke konsumen.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Perry Markus juga menyebutkan para pengusaha spa di Bali langsung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada Jumat, 5 Januari 2024. Dia menjelaskan materi yang diuji itu yakni terkait Pasal 55 dan Pasal 58 UU HKPD. Menurut dia, pengusaha spa ingin meninjau kembali posisi industri spa yang bukan termasuk jasa hiburan melainkan kebugaran atau kesehatan (wellness).
Pilihan Editor: Pajak Hiburan Naik Jadi 75 Persen, Apa Saja Jenisnya?