Namun, UU HKPD Pasal 55 Ayat 1 mengkategorikan spa ke dalam jasa kesenian dan hiburan. Sedangkan pada Pasal 58 Ayat 2 beleid yang sama disebutkan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
"Itu yang kami gugat. Padahal di Pasal 58 Ayat 1, disebutkan namanya pajak barang dan jasa tertentu itu paling tinggi 10 persen," ucap dia.
Selain itu, ia mengklaim penyusunan UU HKPD cacat hukum. Sebab, proses penyusunannya tidak melibatkan para pemangku kepentingan, seperti pengusaha.
Alasan gugatan kedua adalah faktor keadilan. "Kalau yang lain 10 persen, kok kami dikasih 40 sampai 75 persen? Dan justifikasinya tidak ada di undang-undang itu," ucap dia.
Padahal, ujarnya, biasanya ada pasal penjelasan di undang-undang. Namun, ia menyebut tidak ada pasal penjelasan sehingga bisa dianggap cacat hukum.
Ia menuturkan ada sekitar 1.500 jasa spa di Bali yang terdampak aturan ini. Secara total, ada 3.000 pengusaha spa.
Meski begitu sebagian tutup karena terdampak pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, iklim usaha spa sedang masa pemulihan. "Nah, mulai bangkit kembali, terus dengan adanya pajak seperti ini kan enggak mungkin," ujarnya.
Pilihan Editor: Hotman Paris Singgung Pajak Hiburan sampai 75 Persen, DJP: Kewenangan Pemerintah Daerah