TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencatat penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai alias bea cukai mengalami penurunan pada 2023. Apa sebabnya?
Sri Mulyani mengatakan realisasi sementara pendapatan bea cukai pada 2023 adalah sebesar Rp 286,2 triliun. Angka ini setara 95,4 persen dari target APBN di dalam Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 75 Tahun 2023.
"Kita lihat bea cukai mengalami koreksi dari pertumbuhan positif dua tahun berturut-turut 26,4 persen dan 18 persen, tahun ini negatif 9,9 persen," ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta Pusat pada Selasa, 2 Januari 2024.
Dalam paparannya, terlihat penerimaan bea cukai tumbuh positif pada 2021 dan 2022. Pada 2021, penerimaannya mencapai Rp 269,2 triliun atau tumbuh 16,4 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Sedangkan pada 2022, penerimaan bea cukai sebesar Rp 317,8 triliun. Angka ini tumbuh 18 persen yoy. Ia lantas mencatat, sejumlah hal menjadi biang kerok anjloknya penerimaan bea cukai pada 2023.
Sebagai informasi, penerimaan bea cukai diperoleh melalui tiga pos, yakni cukai, bea masuk dan bea keluar. Sepanjang 2023, cukai menjadi kontributor terbesar dengan perolehan Rp 221,8 triliun.
Namun, sejumlah kebijakan mempengaruhi penerimaan cukai, yakni kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk mengendalikan konsumsi rokok. "Ini menyebabkan produksi rokok mengalami penurunan, terutama golongan satu yaitu produsen terbesarnya. Golongan satu itu turunnya bahkan mencapai 14 persen," tutur Sri Mulyani.
Sementara itu, bea masuk sepanjang 2023 tercatat sebesar Rp 50,8 triliun. Nilai ini juga tidak mencapai target atau 97,6 persen dari target APBN 2023 di Perpres 75/2023. Ini karena ada penurunan nilai impor sebesar 6,8 persen yoy.
"Bea keluar realisasinya hanya 68,3 persen (dari target APBN di Perpres 75/2023)," ujar Sri Mulyani.
Ini disebabkan penurunan tajam harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Selain itu, upaya hilirisasi juga menjadi penyebab. "Kebijakan hilirisasi dengan produk-produk mineral nikel itu yang enggak boleh diekspor dalam bentuk bahan mentah, maka biaya keluarnya langsung drop," tutur mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Sri Mulyani mencatat, bea keluar produk sawit turun 81,2 persen yoy. Bea keluar bauksit juga turun 89,1 persen yoy karena larangan ekspor sejak Maret. Sementara bea keluar tembaga tumbuh 10,8 persen yoy karena didorong kebijakan relaksasi ekspor.
Pilihan Editor: Sri Mulyani Sebut Harga Pangan Jadi Kontributor Utama Inflasi: Beras, Cabai, dan Bawang Naik Signifikan