TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi merespons tragedi kebakaran di smelter PT Tsingshan Stainless Steel (ITSS), Morowali Sulawesi Tenggara. Kebakaran terjadi pada Ahad, 24 Desember kemarin pukul 05.30 WITA.
Menurut Fahmy, kejadian tersebut tersebut membuktikan bahwa investor smelter telah mengabaikan mining safety standards. "Ada indikasi bahwa pemerintah lebih mementingkan kepentingan investor ketimbang keselamatan kerja karyawan," ujar Fahmy dalam keterangannya pada Senin, 25 Desember 2023.
Adapun kecelakaan kerja kerja terjadi di kawasan Smelter PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Ledakan terjadi karena tungku 41 smelter nikel milik PT ITSS terbakar saat tengah diperbaiki oleh tim teknisi.
Akibat dari kejadian tersebut, 13 orang dikonfirmasi meninggal dunia dan 39 pekerja lainnya alami luka-luka ringan hingga berat. Korban tewas terdiri dari lima orang tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok dan delapan tenaga kerja lainnya berasal dari Indonesia (TKI). Sementara itu, korban luka telah mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit terdekat.
Fahmy menekankan bahwa penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 seharusnya mengacu pada standar International, bukan standar nasional maupun standar Cina. Menurutnya, investor Cina biasanya cenderung meminimalisir biaya, termasuk biaya keselamatan penambangan.
Ia menuturkan pemerintah seharusnya memberlakukan standar keamanan internasional kepada seluruh investor, termasuk investor Cina. Kemudian, secara reguler diadakan audit atau evaluasi keamanan untuk memastikan bahwa sistemnya bekerja sesuai dengan standar tersebut.
"Jangan lebih mementingkan masuknya investor smelter dengan mengabaikan safety system," ucapnya.
RIANI SANUSI PUTRI
Pilihan editor: Inilah Profil Smelter Nikel Asal Cina yang Meledak di Morowali