“Ini yang menyebabkan Eropa mengalami kondisi tekanan suku bunganya belum menunjukkan tanda-tanda sudah pada titik puncaknya,” ucap Sri Mulyani.
Selain masalah ekonomi, bendahara negara menjelaskan, kondisi geopolitik juga menunjukkan risiko yang semakin tinggi. Di mana perang di Ukraina maupun di Timur Tengah terutama Palestina yang tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir. Hal itu menimbulkan downside risks (risiko kerugian) terhadap prospek pertumbuhan ekonomi.
Sentimen global juga akan dipengaruhi dan menimbulkan volatilitas di sektor keuangan. Prospek dari perang yang belum berakhir dan bahkan akan melebar juga akan menimbulkan tekanan proteksionisme dan melemahkan perdagangan global.“Perekonomian global diperkirakan masih akan lemah,” kata dia.
Sri Mulyani juga menyitir data lembaga-lembaga internasional, yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2024 direvisi ke bawah. Dana Moneter Internasional (IMF) menurunkan menjadi hanya 3 persen, dan Bank Dunia hanya 2,1 persen untuk pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Tahun depan IMF masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi juga belum membaik, bahkan dengan hanya di level 2,9 persen. Inflasi di sisi lain mekipun menurun, tapi levelnya masih di atas target kebijakan inflasi yang ditetapkan negara-negara maju, yaitu 3 persen tahun depan.
“Inflasi dunia di level 5,8 persen ini juga lebih tinggi dibandingkan periode sebelum pandemi Covid-19,” ujar Sri Mulyani.
Pilihan editor: Sri Mulyani Ungkap Kinerja APBN: Pendapatan Negara Capai Rp 2.553,2 Triliun, Belanja Rp 2.288,2 Triliun