TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri kembali mengkritik pemerintah Joko Widodo atau Jokowi yang gencar mendorong kebijakan biodiesel berbasis minyak kelapa sawit (CPO) sejak tahun 2015 tapi tanpa pertimbangan yang matang. Akibatnya, harga minyak goreng melambung.
Saat ini tercatat, harga minyak goreng stabil di kisaran Rp 19.000-an per kilogram. Padahal harga CPO dalam tren menurun.
CPO yang awalnya digunakan sebagai bahan dasar minyak goreng, menurut Faisal, kini menjadi sumber kecemasan masyarakat. Kekhawatiran muncul pada awal 2022 dan berlanjut ketika harga minyak goreng merangkak naik seiring dengan peningkatan penggunaan CPO untuk biodiesel.
Faisal menilai kebijakan pemerintah soal penggunaan CPO untuk biodiesel berdampak serius terhadap pasokan minyak goreng yang merupakan kebutuhan pangan.
“Jadi negara ini ugal-ugalan ini setengah mati menentukan harga. Nanti kalau rugi, ada rafaksi, gak dibayar-bayar. Ini negara apa?” tutur Faisal dalam acara Talkshow dan Launching Buku Cerita Tentang Hulu-hilir Sawit Hari Ini dan Esok 'Dampak Kebijakan Biodiesel terhadap Pasokan Minyak Goreng" di Jakarta pada Kamis, 7 Desember 2023.
Akibat kebijakan itu juga, kata Faisal, muncul ketidakpastian buat pengusaha. "Ujung-ujungnya pengusaha, kemudian petani dirugikan."
Faisal juga menyoroti larangan ekspor CPO yang justru menciptakan banyak kerugian. Pemerintah, misalnya, kehilangan pemasukan dari pajak ekspor sawit, sementara pengusaha dan petani menghadapi penurunan harga komoditas dan kesulitan ekonomi.
“Pak Jokowi pidato langsung, mulai besok larang ekspor CPO. Pertama yang rugi pemerintah, nggak dapet pajak ekspor. Sama bea sawit, pemerintah rugi. Pengusaha rugi. Nggak bisa ekspor. Iya, kan? Petani rugi, harganya anjlok,” ucap Faisal.
Padahal, menurut Faisal, penting untuk terus mencermati dugaan penetapan dua harga jual CPO. Ketika harga CPO untuk biodiesel lebih tinggi dibandingkan dengan harga untuk industri pangan yakni minyak goreng, ia menilai transparansi kebijakan patut dipertanyakan.
“Katanya CPO ini langka karena harga di pasar internasional tinggi, oleh karena itu pada ekspor semua. Padahal ekspor turun,” ucapnya.
Menurut dia, jika harga CPO yang digunakan untuk biodiesel disamakan dengan harga ekspor, daya tarik ekspor otomatis langsung hilang. Ketika CPO dialokasikan untuk kebutuhan biodiesel di dalam negeri, harga yang dihasilkan setara dengan harga internasional, kegiatan mengekspor CPO tidak lagi menarik.
Akibatnya langsung terasa pada harga minyak goreng di pasar dalam negeri karena suplai CPO berlimpah. Sementara, dengan adanya dua harga CPO, yakni untuk kebutuhan biodiesel dan untuk ekspor, malah menciptakan ketidakpastian dan meningkatkan biaya produksi bagi produsen minyak goreng.
Hal itu juga yang kemudian memicu kesulitan bagi pelaku usaha di sektor ini. Akibatnya, mereka harus menyesuaikan harga produk mereka dengan fluktuasi pasokan dan permintaan CPO.
“Ini pemerintah menciptakan surga buat pengusaha biofuel karena dijamin tidak rugi. Jadi bisnis surga,” ucap Faisal Basri.
Pilihan Editor: Minyak Goreng Langka, Faisal Basri: Masalahnya Pemerintah Sembrono Menetapkan Dua Harga CPO