TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan peranan ekonomi digital dalam perekonomian bisa menciptakan kesetaraan demokratisasi. Karena, kata dia, berbagai informasi bisa diakses oleh siapa saja dan di mana saja.
“Exclucivity (eksklusivitas) menjadi berkurang,” ujar di acara Digital Summit 2023 di Hotel Four Season, Jakarta Selatan, pada Selasa, 28 November 2023.
Namun, Sri Mulyani melanjutkan ekonomi digital juga menciptakan ketidaksetaraan karena adanya kesenjangan digital. Jika bicara Indonesia, banyak yang selalu membuat perbedaan antara Jakarta yang terkoneksi dengan sangat baik, termasuk kecepatan internetnya. Namun, kata dia, Indonesia tidak hanya Jakarta atau Pulau Jawa.
Hal itu menimbulkan teknologi digital justru menciptakan kesenjangan baru. Sehingga membutuhkan invetasi di bidang infrastruktur. Soal infrastruktur, kata Sri Mulyani, selama pandemi Covid-19, kementeriannya memberikan anggaran tambahan untuk Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk membangun satelit, fibel optik, Base Transceiver Station (BTS), dan lainnya.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan ekonomi digital juga akan menimbulkan lapangan kerja lama hilang, tapi memunculkan lapangan kerja baru. “Sama seperti climate change (perubahan iklim), a new job akan created, old job (pekerjaan baru akan tercipta, pekerjaan lama) akan hilang,” tutur Sri Mulyani.
Itu menjadi alasan di forum G20, India pembahasan mengenai re-skilling (pelatihan ulang) dibahas. Karena pasar tenaga kerja tidak bisa mengikuti perkembangannya. “Training dan re-training itu menjadi sesuatu yang emas,” ucap Sri Mulyani.
Dia pun mencontohkan program Kartu Prakerja yang merupakan salah satu bentuk terobosan Indonesia untuk menjembatani para pekerja. Sri Mulyani mengakui memang program tersebut belum sempurna, tapi itu adalah upaya yang dilakukan untuk menghadapi distrupsi di pasar tenaga kerja.
Bendahara negara juga mengatakan ekonomi digital bisa menimbulkan financial benefit (keuntungan finansial), tapi juga bisa mengakibatkan financial disaster (bencana finansial). Keuntungannya, semua orang bisa mendapatkan akses jika memiliki ide yang bagus dan menggunakannya dengan baik. Sedangkan financial disaster seperti munculnya pinjaman online ilegal.
Dari sisi pembeli ada keuntungan, tapi juga bisa menjadi hedonisme yang tidak perlu. Itu semua, Sri Mulyani berujar, adalah sisi baik dan sisi buruk dari risiko dalam ekonomi digital. Semua menyadari dan bisa dipastikan tidak ada negara yang sudah benar-benar mengenai bagaimana mengelolanya, mengaturnya, membuat kebijakan yang berjalan.
“Makanya muncul kata-kata, kami kayaknya ada di kotak mainan dulu. Karena kita nggak ngerti persis. Saya akan kagum kalau ada orang yang kayaknya merasa ngerti banget tentang hal ini,” tutur Sri Mulyani.
Sehingga, pemerintah pun untuk memformulasikan regulasi dan kebijakan akan terus berpikir dan menyesuaikan, serta membuka pola pikir untuk melihat perkembangan. Menurut Sri Mulyani, sektor informasi dan komunikasi adalah sektor yang terus bekerja bahkan selama pandemi Covid-19 pada era digital.
“Sehingga kami mampu menciptakan apa yang disebut reducing digital divide (mengurangi kesenjangan digital),” kata Sri Mulyani. “Karena Indonesia besar banget pasti tidak mudah dan kita kepulauan beda dengan daratan seperti Amerika yang ini juga menambah komplikasi dan tantangan.”
Pilihan Editor: Menkop Teten Sebut Pajak UMKM 0,5 Persen Masih Berlaku: untuk Stimulus Pertumbuhan Ekonomi