TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menanggapi rencana pembiayaan proyek kereta ringan atau light rail transit (LRT) di Bali. Proyek tersebut direncanakan akan menggunakan pendanaan kreatif, salah satunya passanger service charge atau PSC—biaya layanan penumpang pesawat.
“Rencana pembiayaan LRT dari passenger service charge akan berimplikasi pada biaya perjalanan yang lebih mahal ke Bali,” ujar Yusuf saat dihubungi pada Rabu, 27 September 2023.
Sehingga, menurut dia, akan beresiko mengganggu minat wisatawan ke Bali, sekaligus berpotensi meningkatkan inflasi Bali melalui kenaikan harga dari komoditas angkutan udara. Ditambah lagi, sistem LRT adalah moda transportasi yang mahal dengan kapasitas relatif terbatas jika dibandingkan dengan sistem bus rapid transit (BRT) atau sistem kereta komuter.
Misalnya, dia mencontohkan, LRT untuk tahap awal antara Bandara Ngurah Rai ke Sentral Parkir Kuta yang hanya sekitar 6 kilometer. Rute tersebut berpotensi menghabiskan hingga Rp 12 triliun atau Rp 2 triliun per kilometer. “Karena keterbatasan lahan dan direncanakan dibangun di bawah tanah,” ucap dia.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian PPN/Bappenas Ervan Maksum sebelumnya menjelaskan soal rencana pembiayaan dari proyek LRT Bali. Hal itu diungkap dalam acara diskusi bertajuk Strategi Green Financing Sektor Transportasi untuk Daya Saing Perkeretaapian Berkeadilan pekan lalu.
“Bagaimana untuk membangun kereta ini? Apakah dari pusat? Apakah dari loan? Kalau Kalau executive agency-nya dari pusat nanti dari pagunya Kementerian Perhubungan. Kita harus mencari creative financing,” kata dia.
Selanjutnya: Ervan juga mengatakan sudah berdiskusi dengan....