TEMPO.CO, Jakarta - Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dinilai telah melenceng dari perencanaan dan justru merugikan Indonesia. Awalnya, proyek ini digadang-gadang akan menguntungkan Indonesia. Namun, ternyata proyek kereta cepat justru menyisakan beban negara karena utang ke Cina dikenakan bunga cukup tinggi dan belakangan mesti dijamin oleh negara.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom, yang juga Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono. Menurut Yusuf, penandatanganan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023, telah membuat Indonesia benar-benar masuk dalam jebakan utang Cina.
“Di mana pemerintah terpaksa menuruti seluruh keinginan pihak Cina agar proyek ini selesai dan tidak mangkrak,” ujar dia melalui pesan WhatsApp Rabu malam, 20 September 2023. Lantas sebenarnya, berapa bunga Kereta Cepat Jakarta-Bandung?
Besaran Bunga Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 89 tahun 2023 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah memberikan jaminan atas utang untuk menutupi pembengkakan biaya (cost overrun) percepatan penyelenggaraan prasarana dan sarana proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Namun, penjaminan itu justru dinilai dapat memberi beban terhadap APBN karena bunga yang ditentukan cukup tinggi. “Penjaminan atas utang proyek kereta cepat dari Cina ini akan memberi tambahan beban tidak kecil terhadap APBN karena utang ke Cina dikenakan bunga hingga 3,4 persen,” ujar Yusuf, Rabu, 20 September 2023.
Yusuf mengatakan, penjaminan ini berbeda jauh dari tawaran Jepang. Awalnya, berdasarkan perhitungan Jepang, nilai investasi pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah US$ 6,2 miliar atau sekitar Rp 91 triliun di mana 75 persen akan dibiayai Jepang dengan bunga pinjaman 0,1 persen per tahun.
Di tengah jalan, Cina masuk dengan tawaran nilai investasi lebih murah yaitu US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 81 triliun di mana 40 persen investasi Cina dengan bunga 2 persen per tahun dengan skema business to business. Akhirnya, pemerintah Indonesia memilih Cina untuk mengerjakan proyek tersebut.
Belakangan, terjadi pembengkakan atau cost overrun (kelebihan biaya) sehingga duit untuk pembangunan kereta cepat tersebut menjadi di atas Rp 100 triliun. Sehingga dibutuhkan suntikan dana tambahan yang dipinjam dari China Development Bank dengan dengan bunga 3,4 persen per tahun.
Menurut Yusuf, mahalnya biaya dan tingginya bunga pinjaman tidak sebanding dengan nilai profit dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pasalnya, tingkat kebutuhan publik terhadap kereta cepat Jakarta-Bandung belum tinggi sehingga moda transportasi ini diprediksi akan sepi penumpang jika harga tiketnya mahal. Namun, jika tiket diturunkan akan tetap butuh waktu lama untuk balik modal. Jika tiket diberi subsidi akan menambah beban keuangan pemerintah.
Belakangan, pemerintah menandatangani jaminan utang pembiayaan kereta kilat tersebut. Yusuf menuturkan, risiko fiskal dari penjaminan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau utang proyek kereta cepat ini tidak bisa diremehkan. "Terlebih ketika beban APBN kini sudah sangat berat,” tutur Yusuf.
Yusuf melanjutkan, untuk membayar bunga utang saja pada APBN 2024 diproyeksikan Rp 497,3 triliun atau sekitar 22 persen dari penerimaan perpajakan. Dengan demikian, akibat bunga pinjaman sebesar 3,4 persen itu, maka ruang fiskal pemerintah akan semakin tergerus dengan banyaknya beban utang terselubung (contingent liabilities), seperti penjaminan terhadap proyek kereta cepat ini.
Selanjutnya: Negosiasi Bunga Pinjaman...