TEMPO.CO, Jakarta - Sawit Watch dan Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) hari ini mendaftarkan gugatan ke Mahkamah Agung terkait dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tersebut. Melalui aturan tersebut, pemerintah berencana mengubah haluan penyelesaian sawit dengan memutihkan 3,3 juta hektare lahan yang berada di kawasan hutan.
Landasan kebijakan tersebut adalah Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang merubah UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dengan menyisipkan Pasal 110 A dan 110 B. Adapun pemerintah membentuk aturan pelaksananya berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.
“Kami memandang kebijakan ini akan menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran serupa di masa depan,“ ujar Direktur Sawit Watch Achmad Surambo saat ditemui Tempo di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Rabu, 20 September 2023.
Surambo menilai langkah tersebut telah mengabaikan proses penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi administratif. Selain itu, kebijakan ini dapat menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit.
Menurutnya, regulasi tersebut juga berpotensi membuat perusahaan melakukan penyerobotan lahan dalam kawasan hutan karena ada kemungkinan semacam jaminan akan diputihkan lagi. Apabila pemerintah serius menyelesaikan keterlanjuran sawit di kawasan hutan, Surambo menilai seharusnya kebijakan tersebut memprioritaskan penyelesaian desa-desa yang berada di kawasan hutan.
Seperti diketahui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat ada sekitar 25.863 desa di dalam dan di sekitar kawasan hutan. Penduduk desa tersebut terdiri dari 9,2 juta rumah tangga. "Inilah yang harusnya menjadi fokus penyelesaian pemerintah," kata dia.
Surambo mengatakan gugatan ini adalah upaya untuk memastikan agar perusahaan sawit tidak mengabaikan tanggung jawab atas ketidakpatuhan dan pelanggaran yang dilakukan sejak bertahun-tahun lalu. Selain itu, pemutihan usaha perkebunan sawit di kawasan hutan juga menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan dampak tambahan ihwal penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
Mengingat berdasarkan beleid tersebut, proses pidana diabaikan dan diganti dengan memberikan sanksi berupa denda administratif justru sangat merugikan. "Kami juga mendorong agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian desa-desa dalam kawasan hutan untuk diselesaikan,” ujar Surambo.
Adapun hingga 2023, Sawit Watch mencatat jumlah komunitas yang berkonflik di perkebunan sawit sebanyak 1088 kasus. Tercatat mayoritas konflik tenurial sebanyak 62,5 persen yang dapat saja terjadi di kawasan hutan.
Sementara itu, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) Gunawan mengatakan ketidakpastian hukum dapat tercermin dalam perbedaan antara pengaturan yang ada. Hal itu terlihat melalui kebijakan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU dan aturan pelaksana atau PP Nomor 24 Tahun 2021.
Misalnya, sisi subjek hukum dalam UU Cipta Kerja dan UU Penetapan Perppu Cipta Kerja adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha di kawasan hutan. Namun, subyek hukum PP Nomor 24 Tahun 2021 adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di kawasan hutan dan memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan.
Alhasil, ketidakpastian hukum muncul ketika subyek hukum yang diatur di level undang-undang adalah yang memiliki perizinan usaha kehutanan. Sedangkan pada aturan pelaksananya justru mengatur subyek hukum yang tidak memiliki perizinan usaha kehutanan.
Hal lain dapat dilihat dari sisi jangka waktu. Merujuk pada PP Nomor 24 Tahun 2021 perkebunan sawit di kawasan hutan harus menyelesaikan persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan dalam jangka waktu tiga tahun. Sementara Pasal 37 UU Cipta Kerja diganti dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, batas waktu penyelesaian persyaratan perizinan usaha di kawasan hutan tidak lagi tiga tahun, tetapi paling lambat 2 November 2023.
Lebih lanjutm Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law Janses E. Sihaloho menegaskan PP ini merusak jaminan kepastian hukum dan jaminan perlindungan bagi masyarakat di sekitar hutan. Untuk itu, para aktivis mengguggat Pasal 3 PP karena terjadi pertentangan antara UUCK, UU Penetapan Perpu CK menjadi UU, dan PP.
"PP telah mengatur apa yang tidak diperintah UU CK dan UU Penetapan Perpu CK dan mengatur apa yang telah dikecualikan oleh UU P3H,” kata Janses.
Pilihan Editor: Mendag Minta Dukungan Belanda agar Uni Eropa Kurangi Hambatan Ekspor Imbas EUDR